This is an Easy Assignment: Journal Writing to Developing Self-Assessment

Many students have problem regarding their score in academic. Thus, it is difficult to know how well the students achieve their academic

Despite of their spending time at school, it is very great to find a sollution how to help them to measure their achievements in terms of developing their self-assessment through what they’ve done at school without decreasing thir time to do the assignment that they should do.

What the students need regarding how to measure their achievement is how they know themselves as the object of their “observation”. Means that they should involve what they will do reflected to what they have done in the past. To do that, it is nor easy way due to the hard work from school for being done at home by the students.

For solving and combining those (hard) work and how teh students to be measured their achievements, we may use journal writing as an easy assignment to help them measuring their achievements, at the same they can do their work from school.

Journal Writing: Easy without Fear of Risk
Why journal writing as an easy asignment? The answer is that writing journal, like diary in specific term, is when the students write anything they want involving/relating to themselves as the object of the topic of what they are writing about.

In short, when they to be writing themselves, they are as the writer wich is writing without fear of risk. This is because, basically, noone deserves to judge their writing unless the students don’t allow somebody—here the teachers or their friends.

To optimalize this assignment, as a regard of academic activity, teacher just should make direction how the writing should be made: of course related to what the material or subjects that have been discussed. Thus, it will help them to remember and keep in mind what they have been doing.

By involving themselves as the object of what their writing, like what have been stated before, this kind of assignment is helful toward the students to know where is the weakness (that should be improved) and the strength (that should be kept and developed).

In summary, it can be a sollution to be a tool do develop the students’ ability on measuring their achievements, especially related to their academic and also their life.

Pungli Berbirokasi: Sebuah Catatan Kesalahan Sistem


Ada yang aneh dengan sistem di negeri ini, di saat pemerintah menggembor-gemborkan untuk memberantas pungutan liar (pungli), justru beberapa sistem di aparatur negara terdapat ketimpangan yang akan mengarah pada aksi pungli tersebut.

Ambil contoh di Kabupaten Sidoarjo. Di Kota Udang tersebut, terdapat sebuah Peraturan Daerah bagi seluruh pengguna kendaraan bermotor untuk dikenakan biaya parkir berlangganan, baik bagi kendaraan roda dua atau empat atau lebih. Penarikan ini, dikenakan setahun sekali tepatnya pada saat proses pembayaran pajak kendaraan di Kantor Samsat sebesar Rp 25.000,00 per kendaraan (roda dua).

Telisik demi telisik, pihak kepolisian merasa tidak menahu tentang tarikan biaya parkir berlangganan ini (sekalipun pembayaran biaya parkir dilakukan di kantor Samsat) karena memang urusan parkir berlangganan berada di bawah naungan Dinas Perhubungan (Dishub). Pun demikian, Dishub pula tidak menahu tentang peraturan tersebut. Mereka hanya menkonfirmasi bahwa semua itu telah ditetukan oleh pihak DPRD kota di dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2006, Kabupaten Sidoarjo.

Di dalam Perda tersebut, diatur terkait sistem parkir berlangganan di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Parkir berlangganan berlaku hanya pada kawasan-kawasan tertentu, yang terdapat tanda parkir berlangganan di sepanjang kota Sidoarjo, di antaranya kawasan kompleks GOR Delta Sidoarjo, Alun-alun Kota Sidoarjo, Pasar besar di kawasan Jalan Gajahmada, dan sebagainya.

Anehnya, semua daerah-daerah tersebut hanya berlokasi di kawasan kota Sidoarjo saja (Kecamatan Sidoarjo). Padahal pada kenyataannya Kabupaten Sidoarjo itu sendiri terdiri dari sekitar 15 kecamatan yang tersebar dari ujung paling selatan (Kecamatan Jabon) hingga Kecamatan Krian. Pertanyaannya adalah, apakah Kabupaten Sidoarjo itu hanya berada di kawasan kota saja? Mengingat Perda parkir berlangganan tersebut berlaku bagi seluruh pangguna kendaraan bermotor di daerah kabupaten Sidoarjo tanpa terkecuali.

Lebih parahnya, tidak ada realisasi dari Perda tersebut. Alih-alih merealisasikan Perda, pihak pemerintah hanya memasang papan tanda bertuliskan "KAWASAN PARKIR BERLANGGANAN" di beberapa titik di kawasan yang telah ditentukan. Hasilnya? Para juru parkir (jukir) masih berkeliaran di mana-mana, termasuk di kawasan-kawasan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Bahkan, mereka memasang karcis dan menarik biaya parkir kepada setiap pengguna motor yang memarkirkan kendaraan.

Kaji Ulang Perda "Liar"
Jika memang peraturan-peraturan daerah seperti ini dibiarkan eksis dan direalisasikan alakadarnya, tanpa adanya pengawasan yang ketat, tentu hal ini akan sangat merugikan masyarakat (yang ujung-ujungnya akan menguntungkan pembuat undang-undang). Kerugian yang diterima masyarakat tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga di bidang kepercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah.

Pada kasus seperti ini, masyarakat mulai merasakan keganjilan yang terjadi dalam perundangan pemerintahan daerah ini. Walaupun sejauh ini ditengarahi (hanya) pada satu aspek saja, tentang pengaturan sistem parkir berlangganan di kawasan-kawasan tertentu, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan ditemukan berbagai macam keganjilan atas Perda-Perda yang ada di daerah tertentu, tidak hanya di Kabupatn Sidoarjo.

Melihat relevansi dari Perda yang demikian,maka sudah saatnya pemerintah harus mengkaji ulang beberapa Perda yang dinilai tidak logis dalam realisasinya, baik dari segi urgensi maupun efektivitas. Dengan langkah demikian akan mengurang aksi korupsi yang melibatkan pungli yang bersembunyi di balik sistem birokasi.

Organisasi: Sistem, Pemikir, dan Pekerja

Teringat dengan seseorang di organisasiku, dia berkata ketika seleksi perekrutan anggota baru: pada intinya, kamu nanti ikut di organisasi ini sebagai seroang pemikir dengan ide-ide dan kreativitasmu atau kamu ingin menjadi anggota yang suka bekerja? Sebuah pertanyaan yang sulit bagi seorang yang baru mengetahui sebuah organisasi.

Pertanyaan itu adalah benar dilihat dari bagaimana tipe organisator, di mana setiap individu mempunyai karakter sendiri-sendiri dan kemampuan sendiri. Sehingga, urgensi untuk menjawab pertanyaan itu menjadi sebuah keharusan karena dalam hal ini seorang pemimpin dan orang-orang di dalamnya bisa mengerti di mana akan meletakkan individu tersebut.

Organisasi adalah sebuah sistem

Dari pengertian dasar sebuah organisasi, adalah sekumpulan individu yang mempunyai tujuan yang sama. Namun, pada kenyataannya, sebuah organisasi tidak hanya sekumpulan individu-individu saja. Kita tidak bisa menganggap penumpang di bus sebagai sebuah organisasi.

Di sisi lain, kita bisa mengatakan keluarga adalah sebuah organisasi. Kenapa? Hal yang membedakan antara kumpulan individu-individu ini adalah sistem. Dikatakan sebagai sistem, organisasi terdiri dari berbagai elemen di mana setiap elemen di dalamnya mampu bekerja saling terkait dan mendukung.

Tidak hanya saling berhubungan dan saling mendukung, sistem yang berlaku di dalam organisasi itu mempunyai tujuan yang sama. Sekalipun tujuan itu banyak, sebuah organisasi mempunyai sebuah kebijakan (dibuat oleh pemimpin atau stakeholder organisasi tersebut) untuk melakukan skala prioritas dalam menentukan tujuan.

Sebuah sistem tidak harus selamanya sama dan saling sejalan. Sebuah sistem yang bagus adalah di mana di dalamnya terdapat adanya mekanisme yang sangat variatif dan mengerucut dalam satu tujuan. Tidak selamanya sama: di dalam sebuah sisrem terdapat aspek pengontrol yang akan menentukan path sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya dengan baik.

Pekerja atau Pemikir?
Jika sistem dianalogikan dengan metabolisme tubuh, maka setiap elemen di dalam tubuh bekerja dengan tepat dan saling terkait. Hal ini karena dikontrol oleh sebuah “pemikir” yakni otak dan para “pekerja” pada organ tubuh yang mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri.

Hal demikian juga ditemukan di dalam organisasi pada umumnya yang terdiri dari para mahasiswa ataupun para aktivis lainnya. Ketika sebuah organisasi terdiri dari sua aspek tersebut maka organisasi bisa dikatakan sebagai sebuah sistem yang baik. Sehingga tidak ada yang salah dengan adanya pilihan individu untuk menjadi seorang pemikir atau pekerja dalam sebuah organisasi.

Eksistensi dua aspek tersebut akan memaksimalkan sebuah organisasi. Optimalisasi sebuah organisasi tersebut digunakan dengan menggunakan suatu inovasi melalui analisa elemen-elemen yang terdapat di dalam organisasi tersebut.

Bagaimana dengan mereka yang berada di tengah-tengah antara pemikir dan pekerja? Ada dua kemungkinan, apakah dia adalah mempunyai idealisme akan apa yang dia miliki yakni menjadi aktivis yang menggabungkan antara berfikir dan bekerja. Di sisi lain, seseorang yang mempunyai idealisme untuk menjadi aktivis dengan tanpa memiliki kemampuan berfikir dan bekerja: pada kebanyakan kasus dan kenyataan, masyarakat lebih memilih individu yang demikian sebagai “pengikut” kebijakan, karena eksistensinya bergantunga dari apa yang menjadi euforia di dalam organisasi tersebut.

Bagaimanapun sebuah organisasi, peran para pemikir dan pekerja haruslah mampu membentuk sebuah sistem yang baik. Hal ini akan kembali dengan tujuan dari sebuah organisasi itu sendiri: menjadi lebih baik.

Organisasi: Sistem, Pemikir, dan Pekerja

Teringat dengan seseorang di organisasiku, dia berkata ketika seleksi perekrutan anggota baru: pada intinya, kamu nanti ikut di organisasi ini sebagai seroang pemikir dengan ide-ide dan kreativitasmu atau kamu ingin menjadi anggota yang suka bekerja? Sebuah pertanyaan yang sulit bagi seorang yang baru mengetahui sebuah organisasi.

Pertanyaan itu adalah benar dilihat dari bagaimana tipe organisator, di mana setiap individu mempunyai karakter sendiri-sendiri dan kemampuan sendiri. Sehingga, urgensi untuk menjawab pertanyaan itu menjadi sebuah keharusan karena dalam hal ini seorang pemimpin dan orang-orang di dalamnya bisa mengerti di mana akan meletakkan individu tersebut.

Organisasi adalah sebuah sistem

Dari pengertian dasar sebuah organisasi, adalah sekumpulan individu yang mempunyai tujuan yang sama. Namun, pada kenyataannya, sebuah organisasi tidak hanya sekumpulan individu-individu saja. Kita tidak bisa menganggap penumpang di bus sebagai sebuah organisasi.

Di sisi lain, kita bisa mengatakan keluarga adalah sebuah organisasi. Kenapa? Hal yang membedakan antara kumpulan individu-individu ini adalah sistem. Dikatakan sebagai sistem, organisasi terdiri dari berbagai elemen di mana setiap elemen di dalamnya mampu bekerja saling terkait dan mendukung.

Tidak hanya saling berhubungan dan saling mendukung, sistem yang berlaku di dalam organisasi itu mempunyai tujuan yang sama. Sekalipun tujuan itu banyak, sebuah organisasi mempunyai sebuah kebijakan (dibuat oleh pemimpin atau stakeholder organisasi tersebut) untuk melakukan skala prioritas dalam menentukan tujuan.

Sebuah sistem tidak harus selamanya sama dan saling sejalan. Sebuah sistem yang bagus adalah di mana di dalamnya terdapat adanya mekanisme yang sangat variatif dan mengerucut dalam satu tujuan. Tidak selamanya sama: di dalam sebuah sisrem terdapat aspek pengontrol yang akan menentukan path sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya dengan baik.

Pekerja atau Pemikir?
Jika sistem dianalogikan dengan metabolisme tubuh, maka setiap elemen di dalam tubuh bekerja dengan tepat dan saling terkait. Hal ini karena dikontrol oleh sebuah “pemikir” yakni otak dan para “pekerja” pada organ tubuh yang mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri.

Hal demikian juga ditemukan di dalam organisasi pada umumnya yang terdiri dari para mahasiswa ataupun para aktivis lainnya. Ketika sebuah organisasi terdiri dari sua aspek tersebut maka organisasi bisa dikatakan sebagai sebuah sistem yang baik. Sehingga tidak ada yang salah dengan adanya pilihan individu untuk menjadi seorang pemikir atau pekerja dalam sebuah organisasi.

Eksistensi dua aspek tersebut akan memaksimalkan sebuah organisasi. Optimalisasi sebuah organisasi tersebut digunakan dengan menggunakan suatu inovasi melalui analisa elemen-elemen yang terdapat di dalam organisasi tersebut.

Bagaimana dengan mereka yang berada di tengah-tengah antara pemikir dan pekerja? Ada dua kemungkinan, apakah dia adalah mempunyai idealisme akan apa yang dia miliki yakni menjadi aktivis yang menggabungkan antara berfikir dan bekerja. Di sisi lain, seseorang yang mempunyai idealisme untuk menjadi aktivis dengan tanpa memiliki kemampuan berfikir dan bekerja: pada kebanyakan kasus dan kenyataan, masyarakat lebih memilih individu yang demikian sebagai “pengikut” kebijakan, karena eksistensinya bergantunga dari apa yang menjadi euforia di dalam organisasi tersebut.

Bagaimanapun sebuah organisasi, peran para pemikir dan pekerja haruslah mampu membentuk sebuah sistem yang baik. Hal ini akan kembali dengan tujuan dari sebuah organisasi itu sendiri: menjadi lebih baik.

JANGAN TAKUT MENJADI PEMIMPIN TANPA KARISMA


Kepemimpinan merupakan sebuah hal yang “mudah” bagi masyarakat saat ini. Anda tinggal pergi ke sebuah toko buku, dan Anda akan menjumpai berbagai buku dengan tema kepemimpinan dengan berbagai langkah dan teori.

Jika dilihat dari teori sosiologi lama, kekuasaan (baca: kepemimpinan) pada dasarnya ada tiga: karismatik, tradisional, da birokrat. Sehingga dengan mentah, dimungkinkan, masyarakat pun mengartikan seorang pemimpin seharusnya mempunyai penampilan yang berkarisma. Kita akan terlalu panjang mencari contoh yang spesifik: Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang terbaru, merupakan contoh yang familiar di mata masyarakat saat ini tentang pentingnya seorang pemimpin yang karismatik.

Namun, menjadi pemimpin bukanlah merupakan hal yang mudah, semudah membalikkan halaman buku-buku kepemimpinan tersebut. Pun demikian, menjadi seorang pemimpin tidaklah sesuatu yang berat—menemukan karisma yang menurumayarakat adalah hal yang lahiriyah. Tetapi menjadi seorang pemimpin adalah bagaimana Anda menemukan diri Anda di antara para orang-orangnya Anda. Sehingga, bukanlah hal yang perlu diperdebatkan apakah harus menjadi seseorang yang karismatik untuk menjadi seorang pemimpin ataukah memandang bahwa karisma adalah hal yang bukan pasti dalam kepemimpinan.

Penampilan bukan Jaminan

Kita akan lebih tahu tentang kata bijak bahwa kita akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya, hal ini memang benar jika kita mencari seorang jodoh atau yang lainnya. Namun, tidak semua seorang pemimpin harus mempunyai penampilan yang serba matching ataupun mempunyai sisiran rambut yang rapih. Tony Blayr, mantan Perdana Menteri Inggris, adalah salah satu seorang pemipin besar di tanah Britania yang seakan mengesampingkan ke mana rambutnya disisir.

Sekalipun penampilan bukanklah harga mati, tetapi bukanlah penampilan adalah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Perlu kita ingat adalah bukan sebagus apa baju yang kita kenakan, tetapi kapan kita memakai baju yang tepat di saat yang tepat.

Siapa yang Anda Pimpin?
Pepatah bilang, lain ladang lain belalang. Lain lubuk, lain ikan. Sekalipun hal ini tidak ada kaitannya dengan dunia perpolitikan, ataupun kepemimpinan, namun hal ini sedikit sedikit merefleksikan kita pada sikap kita—bagaimana kita besikap di suatu kalangan masyatakat yang plural.

Artinya dalam kaitannya dengan kepemimpinan adalah bahwa masyarakat yang berbeda membutuhkan perlakuan yang berbeda pula. Secara tidak langsung, membutuhkan gaya memimpin yang berbeda pula.

Sebagai contoh, salah satu pemimpin di negeri Pizza, Italia Berluconi (mungkin dari yang penggila sepak bola akan tahu ini) adalah salah satu pemimpin yang sangat disukai masyarakatnya, tidak peduli telah berapa kali Berlusconi melakukan kesalahan. Karena apa? Hal ini karena Berlusconi telah dianggap sebagai bagian dari masyarakat—atas kemampuanya dalam mengerti bagaimana karakter masyarakatnya.

Bertanggung Jawab
Seorang pemimpin adalah bukan seseorang yang bersembunyi setelah melakukan kesalahan. Seorang pemimpin haruslah seseorang yang dengan tegas mau menanggung konsekuensi atas apa yang telah ia lakukan, baik berupa keputusanm tindakan hingga kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak.

Kita tidak perlu membahas hal ini lebih jauh karena pada dasarnya semua orang akan mengerti bahwa sebagus apapun seorang pemimpin tetapi jika ia tidak punya rasa tanggung jawab, sama halnya ia tidak mempunyai jiwa kepemimpinan yang bagus. Sehingga, memang bertanggung jawab adalah modal dasar ketika individu menjadi seorang pemimpin.

Tidak Harus Orator yang Bagus
Jika disimpulkan dengan mentah, di dunia kampus mahasiswa lebih sering menghubungkan kepemimpinan (baca: perpolitikan organisasi) dengan bagaimana kemampuannya berorasi. Benarkah kemampuan berorasi adalah jaminan seorang adalah pemimpin yang besar/berkarisma?

Hal ini bukanlah hal yang pasti. Orasi yang bagus, mungkin akan membuat Anda dikenal oleh masyarakat luas. ITU saja. Tetapi menjadi seorang pemimpin tidaklah hanya sebatas bagaimana Anda diketahui oleh masyarakat atas kemampuan Anda dalam merorasi, melainkan lebih dari itu: action is more than words.

Jika boleh menyimpulkan, seorang pemimpin memang membutuhkan sebuah karisma dalam memimpin. Mereka seakan telah dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun, bukan berarti mereka yang tidak ditakdirkan memiliki karisma? Dengan melakukan apa yang telah diuraikan di atas, maka secara tidak langsung karisma seorang akan terbentuk dengan sendirinya—dan ia menjadi seorang pemimpin yang besar.

Pilpres 2009: Kawin Kontrak (lagi), Rakyat Golput (lagi)

Pemilu presiden telah masuk hitungan jari dari pelaksanaannya 8 Juli mendatang. Berbagai macam suksesi dilakukan oleh para pasangan capres dan cawapres serta para tim sukses masing-masing pasangan tersebut pada Pilpres 2009 kali ini.

Di beberapa media, pada awal-awal pengumuman nama-nama pasangan capres dan cawapres, disebutkan bahwa pasangan-pasangan tersebut mempunyai kekhasan yang unik. Hal ini dilihat dari bagaimana proses persetujuan koalisi pasangan tersebut dan sepakat untuk berpasangan untuk maju pada Pilpres 2009 nantinya.

Dimulai dari pasangan Mega-Prabowo yang dieluh-eluhkan sebagai pasangan kawin paksa karena memang tidak ada pilihan lain bagi Mega untuk mencari pendampingnya menuju Istana selain menggaet Prabowo pada Pilpres 2009 kali ini.

SBY-Budiono juga dikatakan sebagai pasangan kawin tanpa restu karena dengan mengejutkan SBY menjatuhkan pilihan kepada guru besar UGM bidang ekonomi ini. Sekalipun menimbulkan perdebatan di kalangan koalisi, namun pilihan SBY bukan tanpa alasan. Dengan posisi Budiono yang netral dan bertangan dingin dalam bidang ekonomi, agaknya Budiono menjadi the Right Man at the Right Time melihat kebutuhan bangsa ini dalam menghadapi krisis global yang masih menghantui negara-negara di dunia.

Di nomor ketiga, JK-Wiranto dipandang sebagai pasangan suci. Hal ini dengan pertimbangan mulusnya proses pasangan tersebut dalam mendapatkan kesepakatan bersama menuju Pilpres 2009. Sekalipun Wiranto mempunyai pengalaman pahit ketika dirinya masih menjadi bagian dari Partai Golkar pada Piplras 2004 silam, dia mencoba menutupinya untuk saat ini demi berpartisipasi dalam Pilpres kali ini.

Kawin Kontrak
Melihat keunikan tersebut, masyarakat justru akan semakin dipusingkan dengan tingkah laku para kontestan Pilpres 2009 kali ini. Namun, tanpa merendahkan misi visi yang dibawakan dan alasan yang melatarbelakangi para pasangan tersebut, justru pasangan capres dan cawapres terebut mempunyai kesamaan yang jelas dalam melakukan koalisi: Kawin Kontrak.

Dari keenam tokoh bangsa itu, mereka pernah terlibat dalam pemerintahan yang sama, baik sebagai rekan hingga bawahan. Artinya mereka seharusnya melakukan agenda tersebut dengan sangat baik. Namun, dengan sangat ironi mereka saat ini “bercerai” dengan membawa idealisme masing-masing untuk memimpin negeri ini. Mereka pun saling berkompetisi untuk menuju Instana seakan lupa dengan “akad” yang mereka tasbihkan beberapa tahun silam.

Jika memang apa yang lakukan saat ini adalah benar sebagai bentuk halus dari sekadar teken kontrak antar sesama koalisi, dan tidak diimbangi dengan misi dan visi kepemimpinan mereka dengan rakyat, maka pemerintahan akan tetap tidak berubah dari orde baru belasan tahun silam. Karena kenyataannya praktik kawin kontrak ini seakan juga terjadi hingga pengurus di tubuh partai.

Ketika masyarakat mulai bisa menilai atas perilaku para politisi yang hanya menggunakan pemilu, yang seharusnya menjadi pesta rakyat dan hanya dinikmati oleh segelintir politisi yang berkepentingan, maka degradasi kepercayaan masyarakatlah yang akan terjadi pada pemilu yang akan datang, atau Pilpres 2009 8 Juli mendatang.

Krisis Kepercayaan
Kembali pada bagaimana kawin kontrak pun terjadi di panggung perpolitikan negeri ini, dan melihat fenomena dan stigma tentang kawin kontrak di masyarakat, hal ini pasti tidak lebih baik dari sekadar kawin suci, kawin paksa, ataupun yang tanpa restu (atau back street dalam bahasa gaulnya). Jika hal ini terus subur berkembang dan tidak dikuak atas kejelasan latar belakang koalisi, maka ancaman golput akan terjadi.

Hal ini kemungkinan akan mementahkan prediksi para pakar politik bahwa pada Pilpres 2009, jumlah golput akan lebih sedikit, sekalipun angka golput pada Pemilu Legislatif kemarin besar.

Sekalipun berbagai cara dari mengumbar janji di iklan TV, hingga orasi di berbagai kota, masyarakat tidak bodoh dalam menerima pesan tersebut mentah-mentah. Jika memang para pasangan capres dan cawapres (dan para pihak-pihak yang terlibat di belakangnya) menyadari akan krisis kepercyaan masyarakat terhadap perpolitikan ini maka mereka harus tanggap dalam menjawab apa yang sebenarnya diinginkan oleh bangsa ini, bukan kepentingan golongan.

Daftar Orang-Orang paling Berpengaruh di Dunia Tahun 2009*

Perubahan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah salah satu perkembangan yang menarik perhatian dalam dunia Muslim di dunia. Transisi negeri dari autoritarianisme telah membuktikan bahwa sebagai demokrasi, Indonesia mampu secara kebudayaan bergerak dengan cepat dan secara ekonomi sukses besar.

Sejak kemenangannya sebagai presiden pada tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono telah mengatur untuk menjaga negara lepas dari utang, bahkan selama resesi ekonomi global baru-baru ini. Bagaimanapun, tantangan yang besar pun menanti di depan. Kemiskinan masih terus terjadi di mana-mana di Indonesia, dan pemerintahan harus menekan ke depan lebih tegas dengan perbaikan-perbaikan terhadap kegagalan dalam melaksanakan berbagai infrastruktur. Perekonomian dihadapkan dengan sebuah peraturan yang pilihan yang rumit, dan negara mengalami korupsi yang besar dan penyuapan.

Pemilihan presiden yang akan datang menjanjikan kebaikan untuk Yodhoyono, 59, terima kasih untuk tidak sedikit pada keberhasilannya dalam merealisasikan janji-janjinya. Sejarah demokrasi Indonesia tidak begitu panjang, tetapi hal ini telah jauh menunjukkan bahwa warga negara Indonesia tidak akan memilih kembali seorang presiden yang memberikan harapan yang kecil.

Saat yang tepat bagi Indonesia, sebagai negara dengan populasi masyarakat Muslim terbesar di dunia, untuk memulai bergerak dalam posisi yang tepat di Asia dan di negara-negara Muslim di dunia. Sebagai respon terhadap sikap hangat Presiden Obama kepada negara-negara Muslim untuk fase baru dalam hubungannya dengan AS, Yudhoyono mampu memimpin dan merencanakan sebuah pembelajaran baru terhadap bangsa itu.

Stopping By Woods On A Snowy Evening

by Robert Frost

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.

Stopping By Woods On A Snowy Evening

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.

Wayang: Seni Tontonan dan Tuntunan


Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian.

Di kalangan masyarakat, wayang adalah bukan hal yang asing. Wayang merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang telah mampu bertahan, dari waktu ke waktu, dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai berbentuk seperti sekarang ini. Daya tahan wayang yang luar biasa terhadap berbagai perubahan pemerintahan, politik, sosial budaya maupun kepercayaan membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Saat ini, fungsi dan peranan wayang tidak lagi difokuskan pada upacara-upacara ritual dan keagamaan, tetapi telah bergeser ke acara hiburan yang mengutamakan inti cerita dengan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup, nilai-nilai budaya, berbagai unsur seni, serta unsur pendidikan yang semuanya berpadu dalam seni pedalangan.

Filsafat pewayangan membuat masyarakat sebagai penontonnya merenungkan hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula gusti, kedudukan manusia dalam alam semesta, serta sangkan paraning dumadi yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh ki dalang pada akhir pagelaran (Wibisono dalam Mulyana: 2008). Keseluruhan pagelaran wayang, sejak dari pembukaan (talu) sampai berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon, mempunyai kandungan filosofis yang tinggi. Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan makin lama makin meningkat laras dan iramanya sehingga mencapai klimaks yang ditandai dengan tancep kayon, setelah semua masalah di dalam lakon terjawab dan berhasil diselesaikan.

Kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia di dunia ini dengan segala aspek dan dinamikanya, yang tidak lepas dari peran dan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial. Dalam hal ini telah jelas, sebagai manusia yang berbudaya, bangsa Indonesia menganggap wayang sebagai bagian dari kehidupan yang bernilai tinggi.

Bagi kelangsungan eksistensi wayang ini, paling tidak, ada tiga hal yang perlu dicermati dalam kehidupan publik. Pertama, sikap dan pandangan hidup pragmatis telah dianut oleh sebagian besar masyarakat. Kedua, implikasi dari realitas ini tidak hanya diterapkan dalam perilaku ekonomi dan politik, tetapi juga dalam memilih bentuk kesenian dan kebudayaan. Ketiga, akibat selanjutnya adalah budaya massa dan budaya populer menjadi kiblat mayoritas publik.

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali (id.wikipedia.org). Sedikit melihat kembali sejaranh singkat tentang wayang di Indonesia, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi” (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".

Misalnya, masyarakat Jawa sangat menggemari wayang karena bagi masyarakat Jawa, wayang merupakan gambaran ataupun potret kehidupan manusia sehari-hari. Wayang berasal dari kata ayang atau bayang-bayang. Dalam cerita wayang banyak dilukiskan bahwa yang tidak eling lan waspada akan menemui kehancurannya. Bisa dilihat dari beberapa contoh kutipan wayang:
a. Dalam episode Mahabarata, Yudistiro yang dikenal jujur ternyata juga bisa tidak eling dan berani main dadu dengan mempertaruhkan sang istri, keempat orang adiknya serta kerajaan Indraprasta seisinya. Yudistiro kalah main dadu dan sebagai konsekuensi harus dibuang di hutan selama 13 tahun dan ini merupakan awal dari perang Bharatayudha.
b. Dalam episode Mahabarata, Hastinopura yang dipimpin Prabu Suyudono juga habis ditumpas Pandawa karena ingkar dalam perjanjian.
c. Dalam episode Mahabarata, walaupun pihak pendawa mengalami kemenangan dalam peperangan, tetapi seluruh anak dan istrinya mati terbunuh.
d. Dan sebagainya.

Wayang sebagai Refleksi Teori Pembelajaran Berbasis Kultur (sebuah pembuka)


Eksistensi teori pembelajaran merupakan suatu insrtumen untuk membantu memaksimalkan proses belajar mengajar. Dalam hal ini untuk memudahkan pembelajaran para peserta didik. Untuk memenuhi hal ini, ukanhanya untuk memaksimalkan proses belajar melainkan bagaimana menciptakan suasan belajar yang kondusif dan berkesan.
Dalam proses pembelajaran, kita menganut beberapa teori yang eksis saat ini dari yang teori klasik hingga yang modern. Berbagai teori yang ada, justru akan membuat kita berpotensi untuk mengaplikasikan dengan cara yang salah atau sering menyebutnya ambiguitas arti teori pembelajaran.

Kita tidak mengatakan bahwa teori yang ada tidak bagus atau tidak compatible untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi agaknya kita membutuhkan sebuah refleksi untuk mengoptimalkan proses belajar dengan menggunakaninstrumen yang dekat dengan kehidupan kita.

Salah satu sumber teori pendidikan yang ada di sekitar kita adalah wayang. Walaupun wayang lebih diidentikkan dengan nilai kehidupan sosial, namun wayang juga mempunyai nilai-nilai pendidikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Aris Rachman (2008) bahwa dalam pementasan wayang kulit terkandung peran lain yakni sebagai sarana pendidikan, sarana untuk berkomunikasi serta sarana untuk mempererat tali silaturahmi di antara sesama warga masyarakat. Salah satu metode yang digunakan untuk mengenalkan wayang sebagai teori pendidikan adalah dengan cara mengetahui aspek-aspek yang berhubungan dengan wayang dan menerapkannya dalam dunia pendidikan.

Dengan kompleksitas nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan wayang, maka hal ini akan sangat efektif sekali untuk dijadikan sebagai bahan refleksi dari teori pendidikan yang diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini karena wayang tidak hanya mengandung aspek pendidikan (secara akademik maupun sosial) terlebih terdapat kebudayaan yang mampu meningkatkan eksistensi bangsa ini. Sehingga dengan upaya bagaimana mengotimalisasikan wayang ke dalam pendidikan, maka kita berusaha melestarikan kebudayaan wayang. Selain untuk melestarikan eksistensi wayang di tengah- tengah budaya modern, juga untuk memekarkan andil kontributifnya bagi pendidikan nilai dan karakter bangsa dewasa ini (Bahtiar: 2008).

*)disampaikan pada presentasi mata kuliah Belajar dan Pembelajaran

Self-Assessment dengan Menulis Jurnal?


Dalam melakukan kegiatan Self-assessment terhadap siswa, diperlukan sebuah cara atau metode untuk melakukannya dengan tepat dengan tanpa mengganggu privasi dari seseorang/siswa yang akan dinilai. Ada berbagai cara untuk melakukannya. Salah satu cara atau teknik untukmelakukannya adalah dengan cara menulis jurnal. Ada berbagai alasan mendasar kenapa jurnal digunakan sebagai cara untuk mengetahui
menulis jurnal, merupakan salah satu cara/teknik untuk melakukan self-assessment, dipilih karena hal ini adalah cara yang sederhana. Para siswa telah mengetahui cara melakukan untuk menulis jurnal sejak mereka memulai kelas bahasa; menjadi bahan ajaran untuk mengetahui tingkat ketercapaian dalam bahasa, mereka harus membuat tulisan/karangan yang bagus.

Penilaian itu sendiri dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan, memahami, dan mengartikan informasi dengan harapan untuk menentukan keputusan/perlakuan terhadap aktivitas siswa. Ketika di dalam kelas, self-assesment dilakukan untuk mendiagnosa masalah siswa serta melakukan penilaian yangtepat terhadap kegiatan akademik mereka.

Ketika seorang siswa melakukan penilaian diri sendiri, maka mereka melakukannya dengan cara pandang sendiri (Oscarson: 1989). Hal ini karena mereka harus memberanikan diri untuk mengetahhui di mana letak kekurangannya msing-masing. Dengan kata lain, memberanikan siswa untuk melakukan self-monitoring, akan membantu siswa tersebut untuk mengembangkan pengetahuan mereka melalui cara daya kontrol yang sadar atau mengembangkan kepedulian metakognitif tentang ilmu pengetahuan dan pemikiran (Vygotsky dalam Wray: 1994).

Sehingga fungsi dari self-assessment diharapkan akan menjadi bahan refleksi perkembangan mereka sendiri. Refleksi ini yang akan membantu siswa untuk melakukan kontrol yang lebih baik untuk belajar dan bertanggung jawab. Siswa dapat terus menulis dan belajar tentang tujuan (goal), refleksi dari belajar mereka untuk belajar menjadi lebih baik. Dengan kebaikan dan kemudahan dari menulis jurnal, maka hal ini akan membantu dalam mengumpulkan data dalam proses belajar.

Wayang Sebagai Gambaran Kehidupan


Masyarakat Jawa sangat menggemari Wayang, karena bagi masyarakat Jawa Wayang merupakan gambaran ataupun potret kehidupan manusia sehari-hari. Wayang berasal dari kata ayang atau bayang-bayang. Dalam cerita wayang banyak dilukiskan bahwa yang tidak eling lan waspada akan menemui kehancurannya. Hal ini bisa terlihat dari beberapa cuplikan ceritanya.

Dalam episode Ramayana, Kerajaan Alengka dengan Prabu Rahwana sebagai raja, habis ditumpas oleh Sri-Rama. Kerajaan Alengka ditumpas karena Prabu Rahwana menculik istri Sri Rama, yaitu Dewi Sinta.

Dalam episode Arjuna Sosrobahu, Raden Sumantri sang patih yang gagah perkasa harus menemui ajal ketika melawan Rahwono. Ajal ini sesuai dengan “kutukan” yang berasal dari adiknya sendiri, Sukrasana yang mati dibunuh oleh R. Sumantri. Ia dibunuh karena R. Sumantri.

Dalam episode Arjuna Sosrobahu, Raden Sumantri sang patih yang gagah perkasa harus menemui ajal ketika melawan Rahwono. Ajal ini sesuai dengan “kutukan” yang berasal dari adiknya sendiri, Sukrasana yang mati dibunuh oleh R. Sumantri. Ia dibunuh karena R. Sumantri.

Dalam episode Mahabarata, Yudistiro yang dikenal jujur ternyata juga bisa tidak eling dan berani main dadu dengan mempertaruhkan sang istri, keempat orang adiknya serta kerajaan Indraprasta seisinya. Yudistiro kalah main dadu dan sebagai konsekuensi harus dibuang di hutan selama 13 tahun dan ini merupakan awal dari perang Bharatayudha.

Dalam episode Mahabarata, Hastinopura yang dipimpin Prabu Suyudono juga habis ditumpas Pandawa karena ingkar dalam perjanjian. Dalam episode Mahabarata, walaupun pihak pendawa mengalami kemenangan dalam peperangan, tetapi seluruh anak dan istrinya mati terbunuh.

Oleh karena itu sudah saatny akita kembali ke wayang, bukan kebudayaan lain (terutama Barat) untuk mencari perspektif kehidupan.

Indonesia Bisa Menjadi Tuan Rumah FIFA Piala Dunia 2022 Jika...(2)


indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini pastinya akan menjadi “tantangan” tersendiri bagi penyelanggara. Tetapi masalah bentang negara kita di khatulistiwa tentunya tidak bisa dianggaps sebagai hambatan, tetapi justru menjadikannya sebagai pelengkap. Artinya ketika Indonesia menjadi tuan rumah, penyelanggara seharusnya melaksanakannya dengan baik, jujur, atau dengan kata lain secara profesional.

Pertanyannya, siapa yang akan menjadi penyelanggara? Jawaban atas pertanyaan itu pastinya tertuju kepada badan otoriter persepakbolaan nasional PSSI. Semua orang tahu tentang PSSI, dan bagaimana prestasinya (baca: kegagalan) badan ini. Sehingga ketika badan ini menjadi panitia hajatan akbar 4 tahunan ini, seluruh masyakat berani bertaruh bahwa yang didapatkan adalah kegagalan (lagi).

Kita tidak perlu menyebutkan satu-persatu kegagalan PSSI dalam me”manage” persepakbolaan kita—nihil prestasi di sepak bola nasional maupun internasional merupakan barometer bagaimana kualitas “yang punya hajat”. Dan kita pun sebagai bangsa yang nasionalis tidak akan mau nasionalis kita terkikis oleh kebijakan (kepentingan) para pengurus PSSI.

Sebagai gambaran bahwa PSSI merupakan sebuah badan otoriter yang langsung dibawahi oleh FIFA (selaku badan otoriter dunia). Sehingga pemerintah tidak bisa ikut campur besar dalam kebijakan PSSI. Namun, yang terjadi saat ini adalah bagaimana PSSI dipenuhi oleh para golongan orang-orang yang berkepintingan demi golongannya sendiri.

Tengok saja ketua umum PSSI, Nurdin Halid, seorang yang terang-terangan tersangkut kasus korupsi kelapa sawit masih dengan mudahnya memberikan “instruksi” kepada anak buahnya tentang agenda PSSI meski dari balik jeruji. Di sisi lain, dia merupakan salah satu caleg kawakan di salah satu parpol besar di negeri ini. Artinya, keberadaannya di badan otoriter ini adalah hanyalah hal yang justru mengancam ekistensi persepakbolaan Indonesia. Itu masih di tingkat atas. Bagaimna di tingkat PSSI di tingkat yang lebih rendah? Bisa dijamin bahwa ada “Nurdin Halid” lain yang nangkring di jabatan tertentu.

Yang harus kita lakukan saat ini bagaimana kita menggunakan SDM kita yang melimpah ruah ini sebagai modal untuk “melahirkan kembali” PSSI kita. Artinya, revolusi pangurus PSSI adalah harga mati (sebenarnya juga berlaku di DPR/MPR di Senayan). Dengan demikian, maka akan ada PSSI yang siap dan benar-benar profesional dalam menjalankan roda persepakbolaan Indodesia, termasuk penyelenggaraan FIFA Piala Dunia. Amin

bagaimana hubungannya Freeport dengan Indonesia menjadi Tuan Rumah FIFA Piala Dunia 2022?
silahkan tunggu pembahasan selanjutnya di “Sosial Politik

Indonesia Bisa Menjadi Tuan Rumah FIFA Piala Dunia 2022 Jika...(1)


Isu Indonesia menjadi tuan rumah FIFA Piala Dunia 2022 santer dibahas di kalangan para penggila sepak bola di Nusantara. Dari mulai pro kontra apakah Indonesia layak hingga adanya unsur politik di balik “ide” tersebut, karena disampaikan sesaat menjelang Pemilu Legislatif 9 April silam. Dari berbagai polemik itu, yang terpenting bai kita adalah memandang optimis apa yang menjadi harapan kita. Tetapi, kita harus realistis. Sudah siapkah Indonesia menjadi tuan tumah, akan sedikit dibahas dari dua sisi polemik: bola mania dan sosial politik.

Bukan hayalan tatkala presiden AFC sangat bangga dengan bagaimana atmosfer sepak bola Indonesia ketika menjadi host AFC Piala Asia 2007 kemarin. Indonesia bahkan dipercaya menggelar partai puncak antara Irak dan Saudi Arabia. Dari pertandingan Indonesia di Gelora Bung Karno, suporter Indonesia datang memenuhi tribun seakan akan merobohkan stadion berkapasitas besar tersebut—dieluh-eluhkan sebagai salah satu staion sepak bola terbesar di dunia.

Melihat parameter penggila yang besar, bukan tidak mungkin FIFA akan menyetujui Indenesia menjadi tuan rumah Piala Dunia. Namun, yang pasti tidak berhenti di situ. Berbagai aspek di persepakbolaan kita juga harus dibenahi, dari menghilangkan sikap anarkis, primordialisme, hingga bagaimana para penggila tersebut tetap bersatu dalam sepak bola. Sumber daya yang besar adalah modal tersendiri bagi negeri ini untuk menjaid bangsa yang besar pula. Jika para warga Indonesia bisa mempunyai kesadaran itu, maka peluang Indonesia untuk bersua di persepakbolaan internasional akan terbuka.

Bagaimana dengan kesiapan dari aspek infrastruktur penunjang sepak bola di Indonesia?
Akan dibahas dari perspektif sosial politik di postingan selanjutnya di Sosial Politik”....

THE FREEDOM WRITERS DIARY (retrieved from www.freedomwritersfoundation.org)

The Freedom Writers Diary is the amazing true story of strength, courage, and achievement in the face of adversity. In the fall of 1994, in Room 203 at Woodrow Wilson High School in Long Beach, California, an idealistic twenty-four-year-old teacher named Erin Gruwell faced her first group of students, dubbed by the administration as "unteachable, at-risk" teenagers. This group was unlike any she had ever interacted with.

The kids took bets on how long their new teacher would last in their classroom. Then a pivotal event changed their lives forever: when a racial caricature of one of the African American students circulated the classroom, Erin angrily intercepted the drawing and compared it to a Nazi exaggeration of Jews during the Holocaust. To her amazement, the students responded with puzzled looks. Erin was appalled to discover that not one child in her class knew of the Holocaust and its unspeakable horrors. When asked how many had been shot at, however, all raised their hands, and a battle-scar show-and-tell began that shocked Erin even more.

Erin Gruwell had touched a nerve, and she ran with it. Knowing that her students were all too familiar with violence, she introduced them to Anne Frank: The Diary of a Young Girl and Zlata's Diary: A Child's Life in Sarajevo. Reluctant at first to read the strange texts, the students of Room 203 soon paralleled their lives to those of Anne and Zlata- teenagers also surrounded by violence- and could not believe their intense connections to the stories. Each student began to keep his or her own anonymous diary, recording tormenting stories of drug use, struggles with physical and mental abuse, reaction to Erin and her unconventional teaching methods. The results were the foundation of a life-changing, spiritually enriching journey that began with a symbolic "toast for change," and has not stopped since.


From the moment they named themselves the "Freedom Writers," the students of Room 203 changed from a group of apathetic delinquents to a closely knit, motivated family with Erin Gruwell as their guide. The Freedom Writers worked extremely hard to bring their first influences off the page and into their lives, with funds raised from a "Read-a-thon for Tolerance" set up by Erin, as well as endless moonlighting jobs that Erin worked, they arranged for Miep Gies, the courageous Dutch woman who sheltered the Frank family, to visit them in California. Soon after, Zlata Filipovic responded to the Freedom Writers' many letters inviting her to Long Beach, and she spent five days with them, allowing the Freedom Writers to compare notes with her. This reinforced to the Freedom Writers that voices are heard, change is possible, and a difference can be made in people through the power of words.

The Freedom Writers have since continued to spread their story and message throughout the world. In 1997 they held an "Echoes of the Soul" fund-raising concert to help pay for a trip to Washington, D.C., where they toured the Holocaust Museum and presented their diary to Secretary of Education Richard Riley. This trip also allowed them to emulate their heroes, the Freedom Riders, by holding a peace march and prayer vigil for victims of intolerance at the Washington Monument. In 1998 they won the Spirit of Anne Frank Award- the Freedom Writers traveled to New York to accept the award. Most recently, in the summer of 1999, one of their most far-reaching goals was achieved. The Freedom Writers and Erin visited Anne Frank's house in Amsterdam; the concentration camps Auschwitz, Birkenau, and Chelmno in Poland; and visited Zlata in Sarajevo, Bosnia. Most important all 150 Freedom Writers have graduated from High School and are attending college.

Individualisme Vs Egoisme

Orang-orang terlalu buruk dan sempit dalam memaknai individualsime dan egoisme. Masyarakat lebih mengenal individualisme sebagai hal yang negatif dalam masyarakat. Seseorang yang individualistik dipandang sebagai seseorang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tanpa memikirkan orang lain.

Pandangan seperti ini tidak selamanya benar. Kita bisa kembali pada analogi yang diucapkan oleh Adam Smith tentang teori individualisme ini. Jika pada malam itu adal seratus manusia di China meninggal, Anda yang berada di Inggris malam itu juga masih bisa tidur lela. Di sisi lain, jika pada malam itu ujung jari Anda tergores dan luka, atau bernanah, mungkin Anda tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal itu.

Konsepsi seperti ini sering disalahartikan oleh beberapa golongan masyarakat. Teori dasar tentang individualisme sangatlah sederhana: manusia selalu melihat sesuatu dari kaca matanya sendiri.

Sehingga tidak ada yang salah dari seseorang tersebut yang dikatakan individu. Justru masyarakat akan sangat beruntung oleh individu-individu yang matang, dan dewasa serta siap untuk membentuk dirinya untuk menjadi masyarakat yang harmonis dan mandiri. Bukan sebaliknya, masyarakat yang hanya patuh oleh seseorang—bisa ayah, pemimpin politik, ketua geng, atau sejenisnya—yang memaksakan kehendak pribadi dalam menentukan berbagai hal dalam kehidupan.

Egoisme dalam Masyarakat
Kita akan menemukan bagaimana masyarakat akan benar-benar menyadari bahwa mereka salah dalam menginterpretasikan makna individualisme. Contoh yang sehari-hari kita temukan adalah bagaimana penjual makanan (dengan cara delivery order) melakukannya atas dasar untuk melayani pelanggan. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah dia melakukannya untul dirinya sendiri: mencari untung dari bisnisnya.

Hal lain juga kita temui adalah para anggota dewan yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat tetapi pada kenyataannya mereka melakukannya hanya untuk dirinya sendiri (atau golongan), yang menjadi berbagai kasus korupsi dan sejenisnya di mana-mana. Kita tidak bisa mengatakan bahwa hal ini benar—sebagai masyarakat. Tetapi, mereka tidak siap untuk menjadi dewasa.

Dari kenyataan yang sederhana di atas, kita bisamenyimpulkan bahwa apa yang terjadi di masyarakat adalah bagaimana seseorang (atau kelompok) memaksakan kehendaknya untuk kepentingan pihaknya sendiri. Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai egoisme. Dan konsepsi yang seperti ini tidak akan bisa berlangsung lama—walaupun pada kenyataannya memang mengakar daging pada pola pemikiran (mind set) manusia.

Dalam dunia sosial politik, konsepsi tentang egoisme ini kita temui pada beberapa negara yang menganut faham komunisme, seperti yang paling populer adalah Lenin di Uni Sovyet, Mao di Cina. Mereka berdalih untuk menciptakan “manusia baru” yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi orang banyak. Pada kenyataannya, sekalipun masyarakat pada saat itu patuh akan teori ini, dan Buku Merah di Cina, tetapi negara-negara tersebut mengalami kehancuran atau mungkin mengalami keterbelakangan perkembangan.

Individualisme: Kebebasan yang Terbatas
Dalam konsepsi individualisme, seseorang melakukan sesuatu dengan bebas. Oleh karena itu, sebuah negara seharusnya menjamin kebebasan tersebut: hidup, berbicara, dan mencintai. Semua itu dilakukan untuk kebaikannya sendiri dalam rangka mempersiapkan dirinya untuk menjadi bagian dalam masyarakat.

Apakah kebebasan tersebut adalah hal yang buruk? Analogi sederhana tentang teori kebebasan dalam individu akan berhenti tatkala kebebasan tersebut mulai mengancam keberadaan orang lain (dlam hal ini yang berbahaya atau merugikan), maka di situlah batasan sebuah kebebasan. Sehingga ketika kebebasan itu dilakukan dalam konteks yang benar dan menghargai pihak lain, maka kebebasana itu sah-sah saja.

Sebuah contoh yang sangat sederhana adalah bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk berbicara. Namun, ketika ia berbicara (dengan keras) ketika dia berada di perpusatakaan, maka apa yang menjadi kebebasan tersebut telah mengganggu orang lain—dan kita tidak bisa mengatakannya sebagai kebebasan lagi.

Ketika masyarakat menginginkan kehidupan yang penuh keharmonisan, maka yang dibutuhkan adalah bukanlah mereka yang begitu idelais dalam menilai suatu individu. Tetapi, apa yang dibutuhkan adalah para individu-individu yang dewasa, dan mempunyai pandangan yang maju dan siap untuk membentuk suatu masyarakat yang harmonis.

Life’s Journey as Searching for El Dorado


Life is like a journey—long journey that you have to feel it with worth things. They are my dreams. And also, in life we just have two choices: we change the truth become dream or change the dream become true; therefore, I choose the last one. That is what makes me always try to do the best to achieve success (changing the dreams become true).

Many things I want to do in this short life. But, the philosophy in life is how well you make something better for yourself and everybody around you. I’m now having study at the English Department of the State University of Ma-lang. I hope it will help me to achieve what I really wish someday.

In majority, I have four big dreams in life that I want to get. First of all, I want to continue my study abroad. After that, I want to complete this expe-rience as the stepping stone to success in my career—it means I get good jobs. Life is not perfect yet without the presence of a nice family. I’m sure everybody in this planet wishes this. The last, for my biggest dream in life to dedicate my education that I’ve got is founding such kind of social or educational foundation. They become my priorities than the others because all of them connect me my self—and also my family—with somebody around me.

To get those big dreams, I must do the best for everything, although every-body has a right to get the second change. At present, I must study hard and prepare myself with many experiences on organizations, competitions, social activities, and so forth. All those things will support my future in studying and career (seeking jobs) as well. To found such kind of social foundation is how well I’m able to gather support from people who have the same perspective of the importance of social or education awareness.

El Dorado: a Poem of Poe
El Dorado, a poem written by Edgar Allan Poe, is imagining of someone’s (the knight’s) journey of life. In general, it tells the readers about how the knight wished that he would find the Land of El Dorado, an imagi-nary/dreamy place of very great wealth where people would not be able to find it. He started his journey with a very optimistic that he would succeed his wish by having strength. As the time passed, he became older that he looked like despair for he could not find any land as El Dorado is. In the middle of his journey, he even questioned a shadow of pilgrim (unreal thing) about where the El Dorado exists. Even the shadow of the pilgrim just gave an abstract answer of the location of El Dorado. The readers could conclude that the El Dorado is not easy place to get for we have to pass through mountains and hills.

The knight had sacrificed his strength and also his time to do the effort on searching the El Dorado. Even though he had sacrificed them, it was not always worth. But, he might be success to find the El Dorado if he kept doing the best sacrificing his worth things to achieve the better achievement.

This poem consists of four stanzas. Each of them has its special characteris-tics that the rhymes are in pattern that consists six lines, where the first and the second line of each stanza are the same and “emphasized” with the third rhyme. In conclusion, the pattern of the rhyme is: aabccb-ddbeeb-ffbggb-hhbiib. The other special thing is the number of the syllable of each stanza is four and seven syllables. The mood of the poem is inspiring for the knight had hope to search El Dorado said by the shadow.


In that poem, the writer uses imagery of sight and sound. The imagery of sight we can find at the first line “gaily bedight” that the knight did it cheer-fully. The other is at 16th line “he met a pilgrim shadow” that he could see the shadow of a pilgrim. The imagery of sound can be found at the conver-sation between the knight and the shadow (line 16-14).

If I may describe the poem in color, I’ll say that it is grey. The knight had dream of searching El Dorado, it meant he had to color his white life with his effort. His journey was not finish yet. He was just in the middle of his journey to color his life. It would work if he did want to keep riding to search the El Dorado.

Reflection from El Dorado
After doing my activities today to change my dreams come true, I am some-times fail. As I know, it is very difficult to gather people to support my ac-tivities in social aspect. I feel down. Even though I couldn’t say it as a fail-ure, one thing that I have to do is that I have to redo it in the better way. I realize that the goals that I dreams are too hard. It doesn’t mean that i have to be surrender with the reality.

Nowadays, people also have their own El Dorado. What they search is wealth—it doesn’t have to be a place. They keep strugling to earn money or somekind. From all what we face now, people should keep trying to make something better.

SBI: Sekolah Berstandar Internasional atau Sekolah Bahasa Inggris?

Semenjak maraknya berbagai perkembangan kurikulum di dunia pendidikan di Indonesia, berbagai institusi pendidikan mulai mengambangkan kualitas dan daya saingnya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang digunakan adalah memanfaatkan paradigma sekolah berbasis internasional (SBI) yang mempunyai nilai “plus” tersendiri di mata masyarakat.

Menurut Dinas Pendidikan Nasional (Diknas), SBI diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia guna mempersiapkan diri di era globalisasi. Pemerintah juga menyediakan anggaran yang besar untuk membantu kelancaran program tersbeut. Hal ini sangat logis tatkala kita saat ini sedang menghadapi bagaimana pesatnya perkembangan di berbagai aspek secara global baik ekonomi, teknologi, dan tak luput pula dunia pendidikan.

Berbagai institusi mulai berlomba untuk mengaplikasikan sistem berbasis internasional ini. Berbagai fasilitas hingga pola pengajaran pun telah diadaptasikan menjadi standar internasional.

Namun, alih-alih menerapkan konsep internasional, berbagai institusi lebih cenderung mengartikan SBI ini sebagai sebuah pembelajaran yang berbau internasional dan diajarkan dalam Bahasa Inggris. Sehingga yang terjadi saat ini, terjadi adalah “pemaksaan” para tenaga pengajar (dan mungkin juga para peserta didik) untuk menggunakan Bahasa Inggris sebagai bagian yang signifikan dalam proses belajar mengajar mereka.

Pemaksaan yang Gagal
Ketika sebuah proses belajar mengajar dilakukan dengan unsur pemaksan, maka yang terjadi adalah menciptakan pemikiran yang instan: instan dalam menerapkan metode, instan dalam aplikasi, instan dalam mencapai tujuan serta instan dalam menerima hegemoni internasional, yang pada ujungnya akan merugikan dunia pendidikan bangsa ini.

Sebagai analogi pada mata pelajaran Matematika, yang dinilai sebagai mata pelajaran yang sulit bagi siswa, membutuhkan pendekatan/metode khusus (termasuk komunikasi) dalam mengajar dan supaya mendapatkan hasil yang maksimal. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi ketika seorang pengajar matematika (dengan tanpa latar belakang Bahasa Inggris) “dipaksa” untuk memberikan materi kepada murid tentang bahan ajar yang sulit bagi siswa itu? Berbagai workshop pengajaran Bahasa Inggris diadakan kepada para pengajar tersebut. Maka yang terjadi adalah siswa akan mengalami kesulitan yang berlipat, yang ujung-ujungnya adalah tidak maksimalnya proses belajar-mengajar di kelas tersebut.

Jika hal ini terus diterapkan di pendidikan kita, maka yang terjadi adalah kegagalan bangsa ini dalam mencerdaskan bangsa dan juga pembengunan jati diri bangsa. Sebagai contoh, salah satu agenda yang tercanangkan adalah pasar bebas (global market), di mana sumberdaya dari berbagai belahan dunia akan mampu dengan mudah untuk keluar-masuk di negara ini. Ketika pendidikan kita mengadopsi metode pengajaran SBI (Sekolah Bahasa Inggris), maka yang terjadi adalah tenaga pengajar kita bisa dijamin akan kalah bersaing dalam persaingan dengan pengajar internasional, khusunya dibanding dengan tenaga dari Barat.

Persaingan seperti ini tidak dapat dielakkan, lebih-lebih ketika isu liberalisasi pendidikan saat ini begitu hangat terjadi. Sehingga apa yang seharusnya dilakukan adalah kembali mengevaluasi paradigma SBI ini menjadi lebih tepat dalam penerapannya.

Berkaca kepada Jepang
Tidak diragukan lagi bagaimana kulaitas negara Jepang dalam berbagai bidang: teknologi, pendidikan, serta budaya. Negeri ini pula juga menerapkan sistem pendidikan yang berstandar internasional dengan hasil yang sangat membanggakan.

Jepang menganggarkan anggaran pendidikannya sebesar 5.270,5 billion yen, dan melakukan proses pendidikannya dengan tetap menjaga keseimbangan antara kemajuan globalisasi dengan eksistensi kebudayaannya. Salah satu langkah yang tepat adalah Jepang mempunyai “tradisi” untuk membatasi jumlah buku yang ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud untuk menerjemahkannya dalam Bahasa Jepang. Sehingga bukan kita yang menyesuaikan terhadap hegemoni kebudayaan Barat, melainkan kita yang harus benar-benar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Langkah lain yang telah dilakukan oleh Jepang adalah mereka mengirimkan duta-duta pendidikannya ke seluruh penjuru dunia. Setelah insiden pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang begitu mengahrgai aspek pendidikan dengan mengutamakan para guru/pengajar yang masih hidup. Dengan demikian, Jepang mampu mempunyai aset yang besar untuk membangun bangsanya kembali setelah “terpuruk” pada saat perang dunia ke-2.

Jika pemerintah Indonesia mampu untuk membuat regulasi dalam memprioritaskan pendidikan dan pembangunan jati diri bangsa, tentu tidak akan ada lagi miskonsepsi terhadap penggunaan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Jika hal ini terus berlangsung, di mana pendidikan dilakukan dengan carayang kurang tepat, maka pemerintah sedang gambling terhadap masa depan bangsa ini. Karena, pada dasarnya ketika pemerintah mengabaikan pendidikan berarti mengabaikan masa depan pula.

Copyright © 2009 - guk sueb - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template