SBI: Sekolah Berstandar Internasional atau Sekolah Bahasa Inggris?

Semenjak maraknya berbagai perkembangan kurikulum di dunia pendidikan di Indonesia, berbagai institusi pendidikan mulai mengambangkan kualitas dan daya saingnya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang digunakan adalah memanfaatkan paradigma sekolah berbasis internasional (SBI) yang mempunyai nilai “plus” tersendiri di mata masyarakat.

Menurut Dinas Pendidikan Nasional (Diknas), SBI diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia guna mempersiapkan diri di era globalisasi. Pemerintah juga menyediakan anggaran yang besar untuk membantu kelancaran program tersbeut. Hal ini sangat logis tatkala kita saat ini sedang menghadapi bagaimana pesatnya perkembangan di berbagai aspek secara global baik ekonomi, teknologi, dan tak luput pula dunia pendidikan.

Berbagai institusi mulai berlomba untuk mengaplikasikan sistem berbasis internasional ini. Berbagai fasilitas hingga pola pengajaran pun telah diadaptasikan menjadi standar internasional.

Namun, alih-alih menerapkan konsep internasional, berbagai institusi lebih cenderung mengartikan SBI ini sebagai sebuah pembelajaran yang berbau internasional dan diajarkan dalam Bahasa Inggris. Sehingga yang terjadi saat ini, terjadi adalah “pemaksaan” para tenaga pengajar (dan mungkin juga para peserta didik) untuk menggunakan Bahasa Inggris sebagai bagian yang signifikan dalam proses belajar mengajar mereka.

Pemaksaan yang Gagal
Ketika sebuah proses belajar mengajar dilakukan dengan unsur pemaksan, maka yang terjadi adalah menciptakan pemikiran yang instan: instan dalam menerapkan metode, instan dalam aplikasi, instan dalam mencapai tujuan serta instan dalam menerima hegemoni internasional, yang pada ujungnya akan merugikan dunia pendidikan bangsa ini.

Sebagai analogi pada mata pelajaran Matematika, yang dinilai sebagai mata pelajaran yang sulit bagi siswa, membutuhkan pendekatan/metode khusus (termasuk komunikasi) dalam mengajar dan supaya mendapatkan hasil yang maksimal. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi ketika seorang pengajar matematika (dengan tanpa latar belakang Bahasa Inggris) “dipaksa” untuk memberikan materi kepada murid tentang bahan ajar yang sulit bagi siswa itu? Berbagai workshop pengajaran Bahasa Inggris diadakan kepada para pengajar tersebut. Maka yang terjadi adalah siswa akan mengalami kesulitan yang berlipat, yang ujung-ujungnya adalah tidak maksimalnya proses belajar-mengajar di kelas tersebut.

Jika hal ini terus diterapkan di pendidikan kita, maka yang terjadi adalah kegagalan bangsa ini dalam mencerdaskan bangsa dan juga pembengunan jati diri bangsa. Sebagai contoh, salah satu agenda yang tercanangkan adalah pasar bebas (global market), di mana sumberdaya dari berbagai belahan dunia akan mampu dengan mudah untuk keluar-masuk di negara ini. Ketika pendidikan kita mengadopsi metode pengajaran SBI (Sekolah Bahasa Inggris), maka yang terjadi adalah tenaga pengajar kita bisa dijamin akan kalah bersaing dalam persaingan dengan pengajar internasional, khusunya dibanding dengan tenaga dari Barat.

Persaingan seperti ini tidak dapat dielakkan, lebih-lebih ketika isu liberalisasi pendidikan saat ini begitu hangat terjadi. Sehingga apa yang seharusnya dilakukan adalah kembali mengevaluasi paradigma SBI ini menjadi lebih tepat dalam penerapannya.

Berkaca kepada Jepang
Tidak diragukan lagi bagaimana kulaitas negara Jepang dalam berbagai bidang: teknologi, pendidikan, serta budaya. Negeri ini pula juga menerapkan sistem pendidikan yang berstandar internasional dengan hasil yang sangat membanggakan.

Jepang menganggarkan anggaran pendidikannya sebesar 5.270,5 billion yen, dan melakukan proses pendidikannya dengan tetap menjaga keseimbangan antara kemajuan globalisasi dengan eksistensi kebudayaannya. Salah satu langkah yang tepat adalah Jepang mempunyai “tradisi” untuk membatasi jumlah buku yang ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud untuk menerjemahkannya dalam Bahasa Jepang. Sehingga bukan kita yang menyesuaikan terhadap hegemoni kebudayaan Barat, melainkan kita yang harus benar-benar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Langkah lain yang telah dilakukan oleh Jepang adalah mereka mengirimkan duta-duta pendidikannya ke seluruh penjuru dunia. Setelah insiden pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang begitu mengahrgai aspek pendidikan dengan mengutamakan para guru/pengajar yang masih hidup. Dengan demikian, Jepang mampu mempunyai aset yang besar untuk membangun bangsanya kembali setelah “terpuruk” pada saat perang dunia ke-2.

Jika pemerintah Indonesia mampu untuk membuat regulasi dalam memprioritaskan pendidikan dan pembangunan jati diri bangsa, tentu tidak akan ada lagi miskonsepsi terhadap penggunaan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Jika hal ini terus berlangsung, di mana pendidikan dilakukan dengan carayang kurang tepat, maka pemerintah sedang gambling terhadap masa depan bangsa ini. Karena, pada dasarnya ketika pemerintah mengabaikan pendidikan berarti mengabaikan masa depan pula.

0 comments:

Copyright © 2009 - guk sueb - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template