Masih Adakah Sekolah Gratis?

Salah seorang tua bingung entah ingin menyekolahkan anaknya ke mana lantaran biaya sekolah yang sangat tinggi. Orang tua lainnya menggerutu: “Katanya pendidikan gratis, kok masih mahal?!” Dan ternyata, hal itu dirasakan sebagian besar orang tua.

Biaya pendidikan yang tinggi tidak lain adalah kesalahan sistem. Jika kita merujuk pada konstitusi, negara sudah seharusnya mencerdaskan bangsa, dalam arti lain menjamin pendidikan yang layak bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat tentu masih ingat program pemerintah yang membebaskan biaya bagi sekolah dasar dan menengah negeri.

Sebagaimana kita ketahui, misalkan, biaya pendidikan di awal tahun untuk sekolah dasar negeri di Kota Malang saja saat ini mencapai angka kisaran 5 juta. Bisa dibayangkan berapa biaya untuk pendidikan tingkat lanjut atau pendidikan tinggi. Seolah bagi masyarakat sudah biasa bahwa pendidikan itu mahal.

Penarikan biaya itu memang bukan lagi semata biaya bulanan yang selama ini kita ketahui. Dengan berbagai dalih semacam program sekolah bertaraf internasional, program ekskul, komite sekolah, buku bacaan yang berganti-ganti dan bervariasi, hingga program pelatihan-pelatihan lainnya, pihak sekolah dapat menarik biaya yang besar kepada orang tua siswa baru.

Kehadiran sekolah-sekolah bertaraf internasional semakin menunjukkan wajah kapitalisme di dunia pendidikan kita. Yang aneh, di tiap sekolah angka penarikan itu berbeda-beda, walaupun sesama sekolah negeri.

Ada kesalahkaprahan dalam sistem pendidikan kita. Di satu lain, pemerintah menggembor-gemborkan pendidikan gratis entah melalui program dari Departemen Pendidikan Nasional atau janji-janji para calon kepala daerah. Di sisi lain, pemerintah seakan tidak menahu atas berbagai macam penarikan biaya yang mahal di sekolah-sekolah. Dengan dalih apapun, penarikan demikian tentu akan semakin memiskinkan masyarakat.

Pemerintah semestinya lebih sigap dalam memahami kasus demikian. Hal ini mencakup kesejahteraan masyarakat serta masa depan negara. Pemerintah harus memberi batasan yang jelas atas penarikan biaya di dunia pendidikan. Jika suatu sekolah berdalih program SBI membutuhkan biaya yang besar, namun pada kenyataannya SBI hanyalah merupakan kastanisasi pendidikan. Yang ujung-ujungnya adalah biaya yang tinggi yang tidak dibarengi dengan pemerataan pendidikan.

Jika demikian kenyataannya, semakin banyak masyarakat yang tak dapat mengenyam pendidikan. Persoalan yang dihadapi bukanlah mahalnya harga sembako saja, melainkan mahalnya pendidikan. Lantas, masih adakah sekolah gratis di negeri ini?

(Ber)malas(an)

Di musim libur gini, saya mendapati sebuah SMS dari seorang teman. Intinya sama saja, seputar kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan tekanan. Efeknya ya sama saja, membuka batin sekaligus menampar diri. Akhirnya saya putuskan saja untuk saling berbagi SMS itu kepada teman-teman yang lainnya di hari libur ini.

Tetapi, entah apakah bulan Juli masih cocok disebut musim libur atau enggak karena selama bulan Juli ini nanti bakalan saya habisin ngurusi kegiatan di kampus terus. “Ah, itu mah derita elo kale...!” teriakan itu keluar begitu saja dari hati nurani, seperti biasa.

Makin digosok, (tidak selalu) makin sip
Saya senang bekerja di kampus. begitu pun orang-orang di luar sana suka dengan pekerjaannya, entah terpaksa tuntutan hidup, tekanan si bos, atau memang panggilan jiwa. Bekerja adalah sebuah kenikmatan tersendiri, seperti halnya masturbasi—makin digosok, makin sip. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan kita disibukkan dengan kesenangan itu?

Kesenangan ada batasnya. Pekerjaan pun demikian. Ketika pekerjaan semakin memperbudak kita, yang terjadi kita semakin terkungkung dengan pekerjaan itu. Pada ujungnya, kita justru tidak menemukan kebahagiaan dan kesenangan dari aktivitas ini. Yang terjadi yaa...tekanan semakin membabi buta. Terlebih tekanan ini terjadi di hari libur.

Manusia tidak lain hanyalah robot-robot, yang berakal, yang sama-sama punya batasan pula. Bedanya manusia tidak dapat di-recharge dengan instan sebagaimana mie rebus yang cukup dicemplungin air panas dan siap dimakan. Manusia butuh berbagai faktor pendukung lain untuk belajar, sekadar menjadi kembali bergairah.

Ada kala, manusia berkilah toh nanti bisa refreshing lewat liburan dengan orang yang kita cintai di hari libur. Tapi, saat ini esensi dari liburan tak lagi untuk benar-benar mengembalikan ide yang mulai aus, melainkan sekadar membayar “hutang” karena telah sekian hari kita telah selingkuh dengan kesibukan pekerjaan—atau selingkuh dalam arti yang sebenarnya.

Kita mungkin memang menyadari, bekerja tak selamanya menjadi tuan bagi kita. Sekali lagi, kenikmatan ada batasnya. Tidak selamanya pekerjaan yang digebu-gebu semakin menghasilkan nilai positif; sebagaimana masturbasi—(ternyata) makin digosok tidak selalu makin sip, yang ada malah kesakitan.

Malas
Paling tidak, isi dari SMS salah seorang teman tadi mengingatkan pada kehidupan saya sendiri: saya juga penuh dengan tuntutan dan tekaan hidup, lahir batin malahan. Yaa...paling tidak sebenarnya ingin pamer ke teman saya balik kalau dia itu enggak sendiri.

Ketika semua tekanan itu mengampiri dan menagih seperti rentenair hutang di desa-desa, saya justru semakin susah nentukan mana yang musti dilakukan dan diprioritaskan.

Sekalipun hidup memang tentang prioritaskan suatu pilihan. Tapi itu semua bakal jadi ucapan pemanis saja tatkala prioritas yang satu, akan menghancurkan lainnya. Masih ada lagi, hidup itu emang butuh pengorbanan. Ya, itu juga bakal jadi bumbu penyedap biar kita memang terus mau bekerja keras, dan menjadi budak pekerjaan lagi.

Jika demikian, saya lebih memilih untuk bermalasan saja sambil jalan kaki di pagi hari, di jam kerja, sekitar tempat tinggal—di sekitar kantor kalau bisa, sesekali menyapa bos dengan sanyum sarkastik juga disarankan.

Malas bukan untuk lari dari menyelesaikan kerjaan, tetapi malas untuk menikmati pemandangan lucu: melihat orang lain yang juga senasib, menjadi babu pekerjaan, tuntutan, dan tekanan. Ada kalanya ini mungkin disebut sebuah liburan yang unik karena menyadari bahwa diri ini memang benar-benar tidak sendiri hidup dengan tekanan “kebahagiaan” kerja.

Banyak orang lain di jalan sana yang hidup penuh tekanan (juga). Kita sih mending menyebut kerjaan sebagai hal yang menyenangkan, mereka terkadang bahkan tidak dapat menemukan arti kebahagiaan itu sendiri, apalagi menikmati kerjaan, atau bahkan menyempatkan diri sambat ke teman melalui SMS pula.

Memang, di saat tekanan sedang memuncak, manusia membutuhkan suatu momen untuk bermalasan. Malas, bukan tidak ada alasan. Ada sisi positif dari bermalasan, terkadang kita bisa melihat dunia kita sendiri yang penuh kegilaan dan tekanan from out of the box: dari perpektif kemalasan. Lucu!

Yang pasti akan memberikan suatu kesimpulan singkat kalau saya memang tidak bisa diperbudak oleh kerjaan, sekalipun itu kesenangan. Kita memang perlu untuk meninggalkan sejenak, bermalasan untuk melihat sisi lain dari kesenangan yang kita miliki.

Tuhan Sudah Bahagia

Sekumpulan mahasiswa sedang duduk di bawah sebuah pohon yang lumayan rindang, mengobrol satu sama lain dengan nada yang santai. Di sela-sela obrolannya, terceletuk sebuah ungkapan yang familiar di telinga masyarakat kita: janganlah tertawa di atas penderitaan orang lain.

Terlepas dari nilai tenggang rasa, sebuah pertanyaan pun terlintas: apakah memang benar tertawa sebagai simbol kebahagiaan itu dilarang hanya karena ada kesedihan?

Saya yakin, Tuhan memang adil dalam menciptakan suatu hal, dalam hal ini, Tuhan memang telah menciptakan kebahagiaan dan kesedihan. Entah dalam hal yang mana keadilan dua hal itu, namun kita bisa mengasumsikan adil di sini mungkin dalam hal proporsi kedua hal itu. Sehingga, bagaimanapun juga kedua hal itu akan selalu ada, sebagaimana sifat Tuhan yang memang kekal dan adil.

Namun, jika kita tidak dapat bahagia hanya karena ada kesedihan maka hal ini akan membuat kehidupan ini menjadi satir, dan tidak akan berujung pada kebahagiaan bersama melainkan berujung pada kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan hilangnya kebahagiaan dari kehidupan ini. Lantas, bagaimana kita seharusnya menyikapi kedua hal ciptaan Tuhan yang adil itu?

Dapat dianalogikan bahwa manusia bahagia itu tidak selamanya karena dia “mencuri” kebahagiaan dari orang lain. Atau sebaliknya, seseorang sedih pun bukan berarti kebahagiaannya telah “dicuri” oleh orang lain yang bahagia.

Jadi ketika Anda berbahagia, berbahagialah. Bagi yang belum bahagia, berusahalah menciptakan kebahagiaan, tanpa harus “mencuri” dari orang lain tentunya. Kalau bisa, bersama-sama berbahagialah dan menghapus kesedihan dari kamus kehidupan.

Penghapusan kesedihan dari kehidupan ini tentu tidak akan mengancam sifat Tuhan yang adil ataupun yang mahakekal. Tuhan pasti paham. Tuhan sudah bahagia, dan Tuhan tidak akan bersikukuh “mencuri” kebahagiaan yang telah Anda ciptakan hanya untuk sekadar membahagiaan diri-Nya sendiri.

Film: Seni sebagai Media Mengembalikan Nasionalisme



Fenomena yang ada saat ini adalah euforia masyarakat terhadap seni tontonan sangat tinggi. Seni tontonan dapat berupa bagaimana seni musik melalui konser, hingga dunia perfilman. Sebagai seni tontonan, film merupakan seni tontonan yang berkembang sangat pesat di dunia hiburan. Seiring dengan perkembangannya, film juga semakin luas dalam hal fungsi dan esensinya. Ketika pada awalnya film digunakan (hanya) sebagai seni tontonan dan hiburan, dewasa ini film berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai nasionalisme, film mampu memberikan sebuah stimulus kepada masyarakat akan pentingnya rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Stimulus itu tersampaikan melalui nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Nilai-nilai nasionalisme dapat berupa bagaimana cinta kita terhadap negeri ini dalam aspek pendidikan, menghargai pahlawan, sosial budaya, hingga politik. Dengan pesan-pesan yang disampaikan dari berbagai aspek diharapkan kita mempunyai inspirasi untuk lebih mencintai negeri ini dengan cara yang kita pahami dan dalami di berbagai aspek.

Nagabonar jadi 2
Sebuah film epik yang mampu memadahi semua aspek yang dibutuhkan seorang individu maupun sekelompok masyarakat. Film Nagabonar jadi 2 ini mengandung nilai-nilai nasionalisme yang tinggi. Nilai-nilai yang tinggi ini mampu disampaikan dengan sangat ringan dengan diselingi bumbu-bumbu jenaka hingga kehidupan keluarga.

Misalkan fenomena bagaimana Bonaga begitu yakin menggagalkan kerja samanya dengan bangsa asing dalam mengembangkan sumber daya alamnya. Atau ketika Nagabonar menyindir dengan prestasi sepak bola kita yang tidak bagus lantaran tidak adanya lahan untuk bermain sepak bola karena berkembangnya bisnis properti macam perumahan-perumahan, atau sejenisnya. Adegan-adegan seperti ini merupakan sebua pesan yang ringan dan sangat mudah untuk diterima dengan nilai yang sangat dalam ketika kita mampu memaknainya lebih jauh.

Hingga pada puncaknya, rasa nasionalisme terhadap pahlawan ditunjukkan dengan bagaimana Nagabonar dengan beraninya memanjat patung Jendral Soedirman untuk menurunkan hormatnya—karena yang seharusnya hormat adalah kita, bukan Jendral Soedirman. Sekalipun kita layak untuk mendapatkan hormat itu jika dan hanya jika kita mampu memberikan sumbangsih kita bangsa paling tidak setara dengan bagaimana perjuangan Jendral Soedirman kala itu dalam perang kemerdekaan.

Masih banyak pesan-pesan yang disampaikan di dalam film ini yang mampu menumbuhkan kemlai rasa nasionalisme kita. Pesan-pesan sejenis dapat kita dapatkan pula pada film Denias hingga Laskar Pelangi baru-baru ini. Di dalam film-film itu, kita bisa menjumpai bagaimana generasi bangsa berjuang untuk menjadi bangsa yang baik dengan terus berusaha keras dalam meraih pendidikan.
Ironisnya, film-film nasional yang berkembang saat ini bagitu didominasi dengan tema-tema kenakalan remaja, horror, hingga humor saja. Jika ada film yang bertemakan sains fiksi, patriotisme, sosial, dan sebagainya datang dari dunia Barat, yang justru akan membuat seni-seni nasional kita tidak mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kembali lagi ditekankan bahwa nasionalisme merupakan sebuah kebutuhan mutlak dari sebuah masyarakat dalam sebuah Negara untuk menciptakan persatuan dan kesatuan yang kokoh. Seyognya, film-film dengan tema nasionalisme seperti inilah yang harus terus dikembangkan. Dengan demikian, adalah kewajiban kita sebagai masyarakat yang beradab dan berbudaya untuk terus menciptakan karya-karya seni yang mampu menumbuhkan rasa nasionalisme.

*) dipublikasikan oleh majalah KOMUNIKASI UM edisi Desember 2009

Copyright © 2009 - guk sueb - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template