Masih Adakah Sekolah Gratis?

Salah seorang tua bingung entah ingin menyekolahkan anaknya ke mana lantaran biaya sekolah yang sangat tinggi. Orang tua lainnya menggerutu: “Katanya pendidikan gratis, kok masih mahal?!” Dan ternyata, hal itu dirasakan sebagian besar orang tua.

Biaya pendidikan yang tinggi tidak lain adalah kesalahan sistem. Jika kita merujuk pada konstitusi, negara sudah seharusnya mencerdaskan bangsa, dalam arti lain menjamin pendidikan yang layak bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat tentu masih ingat program pemerintah yang membebaskan biaya bagi sekolah dasar dan menengah negeri.

Sebagaimana kita ketahui, misalkan, biaya pendidikan di awal tahun untuk sekolah dasar negeri di Kota Malang saja saat ini mencapai angka kisaran 5 juta. Bisa dibayangkan berapa biaya untuk pendidikan tingkat lanjut atau pendidikan tinggi. Seolah bagi masyarakat sudah biasa bahwa pendidikan itu mahal.

Penarikan biaya itu memang bukan lagi semata biaya bulanan yang selama ini kita ketahui. Dengan berbagai dalih semacam program sekolah bertaraf internasional, program ekskul, komite sekolah, buku bacaan yang berganti-ganti dan bervariasi, hingga program pelatihan-pelatihan lainnya, pihak sekolah dapat menarik biaya yang besar kepada orang tua siswa baru.

Kehadiran sekolah-sekolah bertaraf internasional semakin menunjukkan wajah kapitalisme di dunia pendidikan kita. Yang aneh, di tiap sekolah angka penarikan itu berbeda-beda, walaupun sesama sekolah negeri.

Ada kesalahkaprahan dalam sistem pendidikan kita. Di satu lain, pemerintah menggembor-gemborkan pendidikan gratis entah melalui program dari Departemen Pendidikan Nasional atau janji-janji para calon kepala daerah. Di sisi lain, pemerintah seakan tidak menahu atas berbagai macam penarikan biaya yang mahal di sekolah-sekolah. Dengan dalih apapun, penarikan demikian tentu akan semakin memiskinkan masyarakat.

Pemerintah semestinya lebih sigap dalam memahami kasus demikian. Hal ini mencakup kesejahteraan masyarakat serta masa depan negara. Pemerintah harus memberi batasan yang jelas atas penarikan biaya di dunia pendidikan. Jika suatu sekolah berdalih program SBI membutuhkan biaya yang besar, namun pada kenyataannya SBI hanyalah merupakan kastanisasi pendidikan. Yang ujung-ujungnya adalah biaya yang tinggi yang tidak dibarengi dengan pemerataan pendidikan.

Jika demikian kenyataannya, semakin banyak masyarakat yang tak dapat mengenyam pendidikan. Persoalan yang dihadapi bukanlah mahalnya harga sembako saja, melainkan mahalnya pendidikan. Lantas, masih adakah sekolah gratis di negeri ini?

(Ber)malas(an)

Di musim libur gini, saya mendapati sebuah SMS dari seorang teman. Intinya sama saja, seputar kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan tekanan. Efeknya ya sama saja, membuka batin sekaligus menampar diri. Akhirnya saya putuskan saja untuk saling berbagi SMS itu kepada teman-teman yang lainnya di hari libur ini.

Tetapi, entah apakah bulan Juli masih cocok disebut musim libur atau enggak karena selama bulan Juli ini nanti bakalan saya habisin ngurusi kegiatan di kampus terus. “Ah, itu mah derita elo kale...!” teriakan itu keluar begitu saja dari hati nurani, seperti biasa.

Makin digosok, (tidak selalu) makin sip
Saya senang bekerja di kampus. begitu pun orang-orang di luar sana suka dengan pekerjaannya, entah terpaksa tuntutan hidup, tekanan si bos, atau memang panggilan jiwa. Bekerja adalah sebuah kenikmatan tersendiri, seperti halnya masturbasi—makin digosok, makin sip. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan kita disibukkan dengan kesenangan itu?

Kesenangan ada batasnya. Pekerjaan pun demikian. Ketika pekerjaan semakin memperbudak kita, yang terjadi kita semakin terkungkung dengan pekerjaan itu. Pada ujungnya, kita justru tidak menemukan kebahagiaan dan kesenangan dari aktivitas ini. Yang terjadi yaa...tekanan semakin membabi buta. Terlebih tekanan ini terjadi di hari libur.

Manusia tidak lain hanyalah robot-robot, yang berakal, yang sama-sama punya batasan pula. Bedanya manusia tidak dapat di-recharge dengan instan sebagaimana mie rebus yang cukup dicemplungin air panas dan siap dimakan. Manusia butuh berbagai faktor pendukung lain untuk belajar, sekadar menjadi kembali bergairah.

Ada kala, manusia berkilah toh nanti bisa refreshing lewat liburan dengan orang yang kita cintai di hari libur. Tapi, saat ini esensi dari liburan tak lagi untuk benar-benar mengembalikan ide yang mulai aus, melainkan sekadar membayar “hutang” karena telah sekian hari kita telah selingkuh dengan kesibukan pekerjaan—atau selingkuh dalam arti yang sebenarnya.

Kita mungkin memang menyadari, bekerja tak selamanya menjadi tuan bagi kita. Sekali lagi, kenikmatan ada batasnya. Tidak selamanya pekerjaan yang digebu-gebu semakin menghasilkan nilai positif; sebagaimana masturbasi—(ternyata) makin digosok tidak selalu makin sip, yang ada malah kesakitan.

Malas
Paling tidak, isi dari SMS salah seorang teman tadi mengingatkan pada kehidupan saya sendiri: saya juga penuh dengan tuntutan dan tekaan hidup, lahir batin malahan. Yaa...paling tidak sebenarnya ingin pamer ke teman saya balik kalau dia itu enggak sendiri.

Ketika semua tekanan itu mengampiri dan menagih seperti rentenair hutang di desa-desa, saya justru semakin susah nentukan mana yang musti dilakukan dan diprioritaskan.

Sekalipun hidup memang tentang prioritaskan suatu pilihan. Tapi itu semua bakal jadi ucapan pemanis saja tatkala prioritas yang satu, akan menghancurkan lainnya. Masih ada lagi, hidup itu emang butuh pengorbanan. Ya, itu juga bakal jadi bumbu penyedap biar kita memang terus mau bekerja keras, dan menjadi budak pekerjaan lagi.

Jika demikian, saya lebih memilih untuk bermalasan saja sambil jalan kaki di pagi hari, di jam kerja, sekitar tempat tinggal—di sekitar kantor kalau bisa, sesekali menyapa bos dengan sanyum sarkastik juga disarankan.

Malas bukan untuk lari dari menyelesaikan kerjaan, tetapi malas untuk menikmati pemandangan lucu: melihat orang lain yang juga senasib, menjadi babu pekerjaan, tuntutan, dan tekanan. Ada kalanya ini mungkin disebut sebuah liburan yang unik karena menyadari bahwa diri ini memang benar-benar tidak sendiri hidup dengan tekanan “kebahagiaan” kerja.

Banyak orang lain di jalan sana yang hidup penuh tekanan (juga). Kita sih mending menyebut kerjaan sebagai hal yang menyenangkan, mereka terkadang bahkan tidak dapat menemukan arti kebahagiaan itu sendiri, apalagi menikmati kerjaan, atau bahkan menyempatkan diri sambat ke teman melalui SMS pula.

Memang, di saat tekanan sedang memuncak, manusia membutuhkan suatu momen untuk bermalasan. Malas, bukan tidak ada alasan. Ada sisi positif dari bermalasan, terkadang kita bisa melihat dunia kita sendiri yang penuh kegilaan dan tekanan from out of the box: dari perpektif kemalasan. Lucu!

Yang pasti akan memberikan suatu kesimpulan singkat kalau saya memang tidak bisa diperbudak oleh kerjaan, sekalipun itu kesenangan. Kita memang perlu untuk meninggalkan sejenak, bermalasan untuk melihat sisi lain dari kesenangan yang kita miliki.

Tuhan Sudah Bahagia

Sekumpulan mahasiswa sedang duduk di bawah sebuah pohon yang lumayan rindang, mengobrol satu sama lain dengan nada yang santai. Di sela-sela obrolannya, terceletuk sebuah ungkapan yang familiar di telinga masyarakat kita: janganlah tertawa di atas penderitaan orang lain.

Terlepas dari nilai tenggang rasa, sebuah pertanyaan pun terlintas: apakah memang benar tertawa sebagai simbol kebahagiaan itu dilarang hanya karena ada kesedihan?

Saya yakin, Tuhan memang adil dalam menciptakan suatu hal, dalam hal ini, Tuhan memang telah menciptakan kebahagiaan dan kesedihan. Entah dalam hal yang mana keadilan dua hal itu, namun kita bisa mengasumsikan adil di sini mungkin dalam hal proporsi kedua hal itu. Sehingga, bagaimanapun juga kedua hal itu akan selalu ada, sebagaimana sifat Tuhan yang memang kekal dan adil.

Namun, jika kita tidak dapat bahagia hanya karena ada kesedihan maka hal ini akan membuat kehidupan ini menjadi satir, dan tidak akan berujung pada kebahagiaan bersama melainkan berujung pada kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan hilangnya kebahagiaan dari kehidupan ini. Lantas, bagaimana kita seharusnya menyikapi kedua hal ciptaan Tuhan yang adil itu?

Dapat dianalogikan bahwa manusia bahagia itu tidak selamanya karena dia “mencuri” kebahagiaan dari orang lain. Atau sebaliknya, seseorang sedih pun bukan berarti kebahagiaannya telah “dicuri” oleh orang lain yang bahagia.

Jadi ketika Anda berbahagia, berbahagialah. Bagi yang belum bahagia, berusahalah menciptakan kebahagiaan, tanpa harus “mencuri” dari orang lain tentunya. Kalau bisa, bersama-sama berbahagialah dan menghapus kesedihan dari kamus kehidupan.

Penghapusan kesedihan dari kehidupan ini tentu tidak akan mengancam sifat Tuhan yang adil ataupun yang mahakekal. Tuhan pasti paham. Tuhan sudah bahagia, dan Tuhan tidak akan bersikukuh “mencuri” kebahagiaan yang telah Anda ciptakan hanya untuk sekadar membahagiaan diri-Nya sendiri.

Film: Seni sebagai Media Mengembalikan Nasionalisme



Fenomena yang ada saat ini adalah euforia masyarakat terhadap seni tontonan sangat tinggi. Seni tontonan dapat berupa bagaimana seni musik melalui konser, hingga dunia perfilman. Sebagai seni tontonan, film merupakan seni tontonan yang berkembang sangat pesat di dunia hiburan. Seiring dengan perkembangannya, film juga semakin luas dalam hal fungsi dan esensinya. Ketika pada awalnya film digunakan (hanya) sebagai seni tontonan dan hiburan, dewasa ini film berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai nasionalisme, film mampu memberikan sebuah stimulus kepada masyarakat akan pentingnya rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Stimulus itu tersampaikan melalui nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Nilai-nilai nasionalisme dapat berupa bagaimana cinta kita terhadap negeri ini dalam aspek pendidikan, menghargai pahlawan, sosial budaya, hingga politik. Dengan pesan-pesan yang disampaikan dari berbagai aspek diharapkan kita mempunyai inspirasi untuk lebih mencintai negeri ini dengan cara yang kita pahami dan dalami di berbagai aspek.

Nagabonar jadi 2
Sebuah film epik yang mampu memadahi semua aspek yang dibutuhkan seorang individu maupun sekelompok masyarakat. Film Nagabonar jadi 2 ini mengandung nilai-nilai nasionalisme yang tinggi. Nilai-nilai yang tinggi ini mampu disampaikan dengan sangat ringan dengan diselingi bumbu-bumbu jenaka hingga kehidupan keluarga.

Misalkan fenomena bagaimana Bonaga begitu yakin menggagalkan kerja samanya dengan bangsa asing dalam mengembangkan sumber daya alamnya. Atau ketika Nagabonar menyindir dengan prestasi sepak bola kita yang tidak bagus lantaran tidak adanya lahan untuk bermain sepak bola karena berkembangnya bisnis properti macam perumahan-perumahan, atau sejenisnya. Adegan-adegan seperti ini merupakan sebua pesan yang ringan dan sangat mudah untuk diterima dengan nilai yang sangat dalam ketika kita mampu memaknainya lebih jauh.

Hingga pada puncaknya, rasa nasionalisme terhadap pahlawan ditunjukkan dengan bagaimana Nagabonar dengan beraninya memanjat patung Jendral Soedirman untuk menurunkan hormatnya—karena yang seharusnya hormat adalah kita, bukan Jendral Soedirman. Sekalipun kita layak untuk mendapatkan hormat itu jika dan hanya jika kita mampu memberikan sumbangsih kita bangsa paling tidak setara dengan bagaimana perjuangan Jendral Soedirman kala itu dalam perang kemerdekaan.

Masih banyak pesan-pesan yang disampaikan di dalam film ini yang mampu menumbuhkan kemlai rasa nasionalisme kita. Pesan-pesan sejenis dapat kita dapatkan pula pada film Denias hingga Laskar Pelangi baru-baru ini. Di dalam film-film itu, kita bisa menjumpai bagaimana generasi bangsa berjuang untuk menjadi bangsa yang baik dengan terus berusaha keras dalam meraih pendidikan.
Ironisnya, film-film nasional yang berkembang saat ini bagitu didominasi dengan tema-tema kenakalan remaja, horror, hingga humor saja. Jika ada film yang bertemakan sains fiksi, patriotisme, sosial, dan sebagainya datang dari dunia Barat, yang justru akan membuat seni-seni nasional kita tidak mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kembali lagi ditekankan bahwa nasionalisme merupakan sebuah kebutuhan mutlak dari sebuah masyarakat dalam sebuah Negara untuk menciptakan persatuan dan kesatuan yang kokoh. Seyognya, film-film dengan tema nasionalisme seperti inilah yang harus terus dikembangkan. Dengan demikian, adalah kewajiban kita sebagai masyarakat yang beradab dan berbudaya untuk terus menciptakan karya-karya seni yang mampu menumbuhkan rasa nasionalisme.

*) dipublikasikan oleh majalah KOMUNIKASI UM edisi Desember 2009

This is an Easy Assignment: Journal Writing to Developing Self-Assessment

Many students have problem regarding their score in academic. Thus, it is difficult to know how well the students achieve their academic

Despite of their spending time at school, it is very great to find a sollution how to help them to measure their achievements in terms of developing their self-assessment through what they’ve done at school without decreasing thir time to do the assignment that they should do.

What the students need regarding how to measure their achievement is how they know themselves as the object of their “observation”. Means that they should involve what they will do reflected to what they have done in the past. To do that, it is nor easy way due to the hard work from school for being done at home by the students.

For solving and combining those (hard) work and how teh students to be measured their achievements, we may use journal writing as an easy assignment to help them measuring their achievements, at the same they can do their work from school.

Journal Writing: Easy without Fear of Risk
Why journal writing as an easy asignment? The answer is that writing journal, like diary in specific term, is when the students write anything they want involving/relating to themselves as the object of the topic of what they are writing about.

In short, when they to be writing themselves, they are as the writer wich is writing without fear of risk. This is because, basically, noone deserves to judge their writing unless the students don’t allow somebody—here the teachers or their friends.

To optimalize this assignment, as a regard of academic activity, teacher just should make direction how the writing should be made: of course related to what the material or subjects that have been discussed. Thus, it will help them to remember and keep in mind what they have been doing.

By involving themselves as the object of what their writing, like what have been stated before, this kind of assignment is helful toward the students to know where is the weakness (that should be improved) and the strength (that should be kept and developed).

In summary, it can be a sollution to be a tool do develop the students’ ability on measuring their achievements, especially related to their academic and also their life.

Pungli Berbirokasi: Sebuah Catatan Kesalahan Sistem


Ada yang aneh dengan sistem di negeri ini, di saat pemerintah menggembor-gemborkan untuk memberantas pungutan liar (pungli), justru beberapa sistem di aparatur negara terdapat ketimpangan yang akan mengarah pada aksi pungli tersebut.

Ambil contoh di Kabupaten Sidoarjo. Di Kota Udang tersebut, terdapat sebuah Peraturan Daerah bagi seluruh pengguna kendaraan bermotor untuk dikenakan biaya parkir berlangganan, baik bagi kendaraan roda dua atau empat atau lebih. Penarikan ini, dikenakan setahun sekali tepatnya pada saat proses pembayaran pajak kendaraan di Kantor Samsat sebesar Rp 25.000,00 per kendaraan (roda dua).

Telisik demi telisik, pihak kepolisian merasa tidak menahu tentang tarikan biaya parkir berlangganan ini (sekalipun pembayaran biaya parkir dilakukan di kantor Samsat) karena memang urusan parkir berlangganan berada di bawah naungan Dinas Perhubungan (Dishub). Pun demikian, Dishub pula tidak menahu tentang peraturan tersebut. Mereka hanya menkonfirmasi bahwa semua itu telah ditetukan oleh pihak DPRD kota di dalam Peraturan Daerah No.1 Tahun 2006, Kabupaten Sidoarjo.

Di dalam Perda tersebut, diatur terkait sistem parkir berlangganan di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Parkir berlangganan berlaku hanya pada kawasan-kawasan tertentu, yang terdapat tanda parkir berlangganan di sepanjang kota Sidoarjo, di antaranya kawasan kompleks GOR Delta Sidoarjo, Alun-alun Kota Sidoarjo, Pasar besar di kawasan Jalan Gajahmada, dan sebagainya.

Anehnya, semua daerah-daerah tersebut hanya berlokasi di kawasan kota Sidoarjo saja (Kecamatan Sidoarjo). Padahal pada kenyataannya Kabupaten Sidoarjo itu sendiri terdiri dari sekitar 15 kecamatan yang tersebar dari ujung paling selatan (Kecamatan Jabon) hingga Kecamatan Krian. Pertanyaannya adalah, apakah Kabupaten Sidoarjo itu hanya berada di kawasan kota saja? Mengingat Perda parkir berlangganan tersebut berlaku bagi seluruh pangguna kendaraan bermotor di daerah kabupaten Sidoarjo tanpa terkecuali.

Lebih parahnya, tidak ada realisasi dari Perda tersebut. Alih-alih merealisasikan Perda, pihak pemerintah hanya memasang papan tanda bertuliskan "KAWASAN PARKIR BERLANGGANAN" di beberapa titik di kawasan yang telah ditentukan. Hasilnya? Para juru parkir (jukir) masih berkeliaran di mana-mana, termasuk di kawasan-kawasan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Bahkan, mereka memasang karcis dan menarik biaya parkir kepada setiap pengguna motor yang memarkirkan kendaraan.

Kaji Ulang Perda "Liar"
Jika memang peraturan-peraturan daerah seperti ini dibiarkan eksis dan direalisasikan alakadarnya, tanpa adanya pengawasan yang ketat, tentu hal ini akan sangat merugikan masyarakat (yang ujung-ujungnya akan menguntungkan pembuat undang-undang). Kerugian yang diterima masyarakat tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga di bidang kepercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah.

Pada kasus seperti ini, masyarakat mulai merasakan keganjilan yang terjadi dalam perundangan pemerintahan daerah ini. Walaupun sejauh ini ditengarahi (hanya) pada satu aspek saja, tentang pengaturan sistem parkir berlangganan di kawasan-kawasan tertentu, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan ditemukan berbagai macam keganjilan atas Perda-Perda yang ada di daerah tertentu, tidak hanya di Kabupatn Sidoarjo.

Melihat relevansi dari Perda yang demikian,maka sudah saatnya pemerintah harus mengkaji ulang beberapa Perda yang dinilai tidak logis dalam realisasinya, baik dari segi urgensi maupun efektivitas. Dengan langkah demikian akan mengurang aksi korupsi yang melibatkan pungli yang bersembunyi di balik sistem birokasi.

Organisasi: Sistem, Pemikir, dan Pekerja

Teringat dengan seseorang di organisasiku, dia berkata ketika seleksi perekrutan anggota baru: pada intinya, kamu nanti ikut di organisasi ini sebagai seroang pemikir dengan ide-ide dan kreativitasmu atau kamu ingin menjadi anggota yang suka bekerja? Sebuah pertanyaan yang sulit bagi seorang yang baru mengetahui sebuah organisasi.

Pertanyaan itu adalah benar dilihat dari bagaimana tipe organisator, di mana setiap individu mempunyai karakter sendiri-sendiri dan kemampuan sendiri. Sehingga, urgensi untuk menjawab pertanyaan itu menjadi sebuah keharusan karena dalam hal ini seorang pemimpin dan orang-orang di dalamnya bisa mengerti di mana akan meletakkan individu tersebut.

Organisasi adalah sebuah sistem

Dari pengertian dasar sebuah organisasi, adalah sekumpulan individu yang mempunyai tujuan yang sama. Namun, pada kenyataannya, sebuah organisasi tidak hanya sekumpulan individu-individu saja. Kita tidak bisa menganggap penumpang di bus sebagai sebuah organisasi.

Di sisi lain, kita bisa mengatakan keluarga adalah sebuah organisasi. Kenapa? Hal yang membedakan antara kumpulan individu-individu ini adalah sistem. Dikatakan sebagai sistem, organisasi terdiri dari berbagai elemen di mana setiap elemen di dalamnya mampu bekerja saling terkait dan mendukung.

Tidak hanya saling berhubungan dan saling mendukung, sistem yang berlaku di dalam organisasi itu mempunyai tujuan yang sama. Sekalipun tujuan itu banyak, sebuah organisasi mempunyai sebuah kebijakan (dibuat oleh pemimpin atau stakeholder organisasi tersebut) untuk melakukan skala prioritas dalam menentukan tujuan.

Sebuah sistem tidak harus selamanya sama dan saling sejalan. Sebuah sistem yang bagus adalah di mana di dalamnya terdapat adanya mekanisme yang sangat variatif dan mengerucut dalam satu tujuan. Tidak selamanya sama: di dalam sebuah sisrem terdapat aspek pengontrol yang akan menentukan path sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya dengan baik.

Pekerja atau Pemikir?
Jika sistem dianalogikan dengan metabolisme tubuh, maka setiap elemen di dalam tubuh bekerja dengan tepat dan saling terkait. Hal ini karena dikontrol oleh sebuah “pemikir” yakni otak dan para “pekerja” pada organ tubuh yang mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri.

Hal demikian juga ditemukan di dalam organisasi pada umumnya yang terdiri dari para mahasiswa ataupun para aktivis lainnya. Ketika sebuah organisasi terdiri dari sua aspek tersebut maka organisasi bisa dikatakan sebagai sebuah sistem yang baik. Sehingga tidak ada yang salah dengan adanya pilihan individu untuk menjadi seorang pemikir atau pekerja dalam sebuah organisasi.

Eksistensi dua aspek tersebut akan memaksimalkan sebuah organisasi. Optimalisasi sebuah organisasi tersebut digunakan dengan menggunakan suatu inovasi melalui analisa elemen-elemen yang terdapat di dalam organisasi tersebut.

Bagaimana dengan mereka yang berada di tengah-tengah antara pemikir dan pekerja? Ada dua kemungkinan, apakah dia adalah mempunyai idealisme akan apa yang dia miliki yakni menjadi aktivis yang menggabungkan antara berfikir dan bekerja. Di sisi lain, seseorang yang mempunyai idealisme untuk menjadi aktivis dengan tanpa memiliki kemampuan berfikir dan bekerja: pada kebanyakan kasus dan kenyataan, masyarakat lebih memilih individu yang demikian sebagai “pengikut” kebijakan, karena eksistensinya bergantunga dari apa yang menjadi euforia di dalam organisasi tersebut.

Bagaimanapun sebuah organisasi, peran para pemikir dan pekerja haruslah mampu membentuk sebuah sistem yang baik. Hal ini akan kembali dengan tujuan dari sebuah organisasi itu sendiri: menjadi lebih baik.

Copyright © 2009 - guk sueb - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template