(Ber)malas(an)

Di musim libur gini, saya mendapati sebuah SMS dari seorang teman. Intinya sama saja, seputar kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan tekanan. Efeknya ya sama saja, membuka batin sekaligus menampar diri. Akhirnya saya putuskan saja untuk saling berbagi SMS itu kepada teman-teman yang lainnya di hari libur ini.

Tetapi, entah apakah bulan Juli masih cocok disebut musim libur atau enggak karena selama bulan Juli ini nanti bakalan saya habisin ngurusi kegiatan di kampus terus. “Ah, itu mah derita elo kale...!” teriakan itu keluar begitu saja dari hati nurani, seperti biasa.

Makin digosok, (tidak selalu) makin sip
Saya senang bekerja di kampus. begitu pun orang-orang di luar sana suka dengan pekerjaannya, entah terpaksa tuntutan hidup, tekanan si bos, atau memang panggilan jiwa. Bekerja adalah sebuah kenikmatan tersendiri, seperti halnya masturbasi—makin digosok, makin sip. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan kita disibukkan dengan kesenangan itu?

Kesenangan ada batasnya. Pekerjaan pun demikian. Ketika pekerjaan semakin memperbudak kita, yang terjadi kita semakin terkungkung dengan pekerjaan itu. Pada ujungnya, kita justru tidak menemukan kebahagiaan dan kesenangan dari aktivitas ini. Yang terjadi yaa...tekanan semakin membabi buta. Terlebih tekanan ini terjadi di hari libur.

Manusia tidak lain hanyalah robot-robot, yang berakal, yang sama-sama punya batasan pula. Bedanya manusia tidak dapat di-recharge dengan instan sebagaimana mie rebus yang cukup dicemplungin air panas dan siap dimakan. Manusia butuh berbagai faktor pendukung lain untuk belajar, sekadar menjadi kembali bergairah.

Ada kala, manusia berkilah toh nanti bisa refreshing lewat liburan dengan orang yang kita cintai di hari libur. Tapi, saat ini esensi dari liburan tak lagi untuk benar-benar mengembalikan ide yang mulai aus, melainkan sekadar membayar “hutang” karena telah sekian hari kita telah selingkuh dengan kesibukan pekerjaan—atau selingkuh dalam arti yang sebenarnya.

Kita mungkin memang menyadari, bekerja tak selamanya menjadi tuan bagi kita. Sekali lagi, kenikmatan ada batasnya. Tidak selamanya pekerjaan yang digebu-gebu semakin menghasilkan nilai positif; sebagaimana masturbasi—(ternyata) makin digosok tidak selalu makin sip, yang ada malah kesakitan.

Malas
Paling tidak, isi dari SMS salah seorang teman tadi mengingatkan pada kehidupan saya sendiri: saya juga penuh dengan tuntutan dan tekaan hidup, lahir batin malahan. Yaa...paling tidak sebenarnya ingin pamer ke teman saya balik kalau dia itu enggak sendiri.

Ketika semua tekanan itu mengampiri dan menagih seperti rentenair hutang di desa-desa, saya justru semakin susah nentukan mana yang musti dilakukan dan diprioritaskan.

Sekalipun hidup memang tentang prioritaskan suatu pilihan. Tapi itu semua bakal jadi ucapan pemanis saja tatkala prioritas yang satu, akan menghancurkan lainnya. Masih ada lagi, hidup itu emang butuh pengorbanan. Ya, itu juga bakal jadi bumbu penyedap biar kita memang terus mau bekerja keras, dan menjadi budak pekerjaan lagi.

Jika demikian, saya lebih memilih untuk bermalasan saja sambil jalan kaki di pagi hari, di jam kerja, sekitar tempat tinggal—di sekitar kantor kalau bisa, sesekali menyapa bos dengan sanyum sarkastik juga disarankan.

Malas bukan untuk lari dari menyelesaikan kerjaan, tetapi malas untuk menikmati pemandangan lucu: melihat orang lain yang juga senasib, menjadi babu pekerjaan, tuntutan, dan tekanan. Ada kalanya ini mungkin disebut sebuah liburan yang unik karena menyadari bahwa diri ini memang benar-benar tidak sendiri hidup dengan tekanan “kebahagiaan” kerja.

Banyak orang lain di jalan sana yang hidup penuh tekanan (juga). Kita sih mending menyebut kerjaan sebagai hal yang menyenangkan, mereka terkadang bahkan tidak dapat menemukan arti kebahagiaan itu sendiri, apalagi menikmati kerjaan, atau bahkan menyempatkan diri sambat ke teman melalui SMS pula.

Memang, di saat tekanan sedang memuncak, manusia membutuhkan suatu momen untuk bermalasan. Malas, bukan tidak ada alasan. Ada sisi positif dari bermalasan, terkadang kita bisa melihat dunia kita sendiri yang penuh kegilaan dan tekanan from out of the box: dari perpektif kemalasan. Lucu!

Yang pasti akan memberikan suatu kesimpulan singkat kalau saya memang tidak bisa diperbudak oleh kerjaan, sekalipun itu kesenangan. Kita memang perlu untuk meninggalkan sejenak, bermalasan untuk melihat sisi lain dari kesenangan yang kita miliki.

0 comments:

Copyright © 2009 - guk sueb - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template